TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi berharap putusan uji materi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bisa menghentikan sengketa antara Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum. "Kami akan membuat vonis yang bisa menghentikan sengketa Bawaslu dan KPU di berbagai daerah," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md saat dihubungi Tempo, Selasa (16/3).
Proses uji materi beleid ini di Mahkamah tergolong cepat, yakni hanya membutuhkan empat kali persidangan sejak 2 Maret lalu. Menurut Mahfud, Mahkamah memang sengaja mengebut perkara ini agar pemilihan kepala daerah bisa berjalan lancar. Untuk itu, hakim konstitusi bakal memusyawarahkan putusan uji materi tersebut dalam rapat Rabu (17/3) besok. Adapun putusannya bakal dibacakan dalam persidangan Kamis (18/3).
Mahfud menegaskan, perkara antara dua lembaga tersebut sejatinya bukan kasus yang sulit, namun dampaknya besar. "Ini masalah sederhana, tapi serius," ujarnya.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Irmanputra Sidin, menyatakan dengan keluarnya vonis Mahkamah Konstitusi nanti, KPU dan Bawaslu wajib menanggalkan ego dan rivalitas lembaga. "Mereka harus menjadikan putusan itu sebagai acuan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah," tuturnya, "Mahkamah Konstitusi adalah lambang supremasi konstitusi sehingga sudah semestinya putusannya dipatuhi semua warga negara."
Sebelumnya, KPU dan Bawaslu telah menyatakan siap menjalankan vonis Mahkamah Konstitusi. Anggota Bawaslu bidang hukum, Wirdyaningsih, mengatakan pihaknya bakal menerima dengan baik segala putusan hakim. "Ya, kita terima," katanya.
Adapun anggota KPU, Endang Sulastri, juga menyatakan bahwa lembaganya akan menghormati apapun keputusan hakim. "Kita menghormati putusan hukum," ujarnya.
Meskipun begitu, Endang mengaku masih bingung siapa yang akan mengurus usulan nama calon panitia pengawas pemilihan kepala daerah, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Bawaslu untuk mencabut sejumlah pasal.
Awal bulan ini, Bawaslu meminta Mahkamah membatalkan enam norma dalam beleid itu, yaitu Pasal 93, Pasal 94 ayat (1), (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (3), dan Pasal 112 ayat (3), atau menjadikannya konstitusional, namun dilekati syarat-syarat tertentu.
Pangkalnya ialah perseteruan KPU dan Bawaslu tentang pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah 2010. Tindakan Bawaslu yang mengangkat mantan Panitia Pengawas Pemilihan Presiden 2009 karena keterbatasan waktu dianggap KPU menyalahi aturan. Sebab, KPU sudah menyerahkan enam calon anggota Panitia Pengawas yang seharusnya diuji kelayakan dan kepatutannya.
Terkait kasus itu, KPU kemudian melansir surat yang isinya, antara lain, menyatakan bahwa Panitia Pengawas bentukan Bawaslu ditolak. Untuk itu, Bawaslu diminta melakukan rekrutmen ulang. Akibatnya, di sejumlah daerah terdapat panitia pengawas ganda. Sebagian dibentuk oleh KPU dan sisanya dilantik oleh Bawaslu.
BUNGA MANGGIASIH
Selasa, 16 Maret 2010 | 15:57 WIB