Penyelesaian persoalan substansi UU Penodaan Agama tidak hanya dapat dilihat dan diputuskan melalui pendekatan hukum konstitusional. Ruang-ruang lain terutama dialog pada ranah ilmu dan kebudayaan harus juga ditekankan. Alangkah indahnya, apabila pertemuan yang lebih intens melalui pendekatan kultural juga terlaksana. Sekuat-kuatnya hukum, kalau tidak ada landasan ilmu dan kebudayaan bisa ditafsirkan secara subjektif oleh siapapun termasuk penguasa.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Ahli yang didatangkan Mahkamah Konstitusi (MK), Emha Ainun Najib dalam sidang uji materi UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan/ Penistaan Agama (UU Penodaan Agama), di ruang sidang pleno MK, Jumat (12/03).
Menurut budayawan yang akrab disapa Cak Nun tersebut, dirinya tidak merekomendasikan untuk membatalkan atau tidak UU a quo sebelum semua pihak memiliki perjanjian untuk tidak saling mencelakakan. "Wani totoan (berani bertaruh red.) apabila UU ini dicabut maupun tidak, akan timbul masalah ataupun konflik baru karena ada pihak yang terancam dan ada yang mengancam," tuturnya.
Cak Nun dalam kesempatan ini mengajak semua pihak untuk "menarik nafas" sebentar melakukan perbaikan melalui dialog antar umat beragama dan seagama, sebelum memutus UU Penodaan Agama konstitusional atau tidak. "UU Penodaan Agama ini memang menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga memicu adanya konflik. Lebih baiknya UU ini didandani (diperbaiki red.) secara bersama, mana yang buruk, ya dibuang," pesan Cak Nun. "Marilah kita bersama merevisinya. Sebagai contohnya kalau nasi ada kerikilnya kan tidak enak. Dalam hal ini bukan nasinya yang dibuang, tapi kerikilnya yang dibuang. Kalau masih tidak enak mari kita bikin nasi baru lagi," sambungnya mengistilahkan.
Selanjutnya, Ulil Absar Abdala yang juga menjadi Ahli yang didatangkan oleh MK, memberikan keterangan dengan pendekatan tradisi sejarah Islam dalam menilai UU Penodaan Agama. "Ada perbedaan antara penafsiran dan istilah menodai. Salah satu yang khas dalam sejarah Islam adalah kekayaan ide, madhzab, dan golongan yang bisa kita telaah khazanah intelektualnya," paparnya.
Menurut aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut, keberagaman penafsiran tidak terbatas pada cabang-cabang agama, melainkan juga pada tataran ushuluddin (pokok agama red.). "Tradisi Sunni yang kemudian banyak dianut oleh Indonesia sebenarnya memiliki kearifan dan sejauh mungkin menghindari cara mengkafirkan sesama ketika terjadi perbedaan tafsir," kata Ulil mencontohkan.
Ulil Absar menggarisbawahi bahwa penafsiran tidak bisa dipidanakan. Sebagai contoh adalah saat zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memerangi Musailamah Alkadzab dan kelompok yang tidak mau membayar zakat.
"Zaman Nabi Muhammad, Musailamah tidak diperangi karena hanya masalah beda penafsiran. Namun Abu Bakar memerangi Musailamah yang mengaku nabi tidak terkait penafsiran, melainkan karena ada gerakan makar sehingga yang diperangi adalah masalah makar kepada negara, begitu juga dengan kelompok yang tak mau membayar zakat." tegasnya.
Begitu juga dengan Ahli yang didatangkan MK, Romo Mudji Sutrisno, yang menyatakan bahwa budaya yang ada dan masyarakat yang multikultur di Indonesia harus menjadi dasar penting dalam melihat permasalahan mengenai uji materi UU Penodaan Agama. "Bahasa hukum tidak bisa dipaksakan apabila menegasikan akar budaya masyarakat yang multikultur. Maka (UU Penodaan Agama) harus direvisi," katanya.
Istilah menyimpang, menurut Romo Mudji, adalah istilah yang dipinjam dari hak Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk menilai, sedangkan manusia tidak memiliki hak itu. "Kita bisa melakukan dialog untuk menyelesaikan semua ini tanpa kekerasan," ujarnya. Sementara itu Forum Kerukunan Umat Baragama (FKUB) DKI Jakarta menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk membatasi dan itu semua diatur juga dalam UUD 1945. Dalam menilai permasalahan ini, FKUB DKI Jakarta meminta MK untuk menolak permohonan uji materi ini. Kalaupun MK akan mengabulkan, maka pihaknya memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Perppu yang lebih terperinci tentang bagaimana dan seperti apa batas penodaan agama sehingga tidak ada salah tafsir.
Di sisi lain, Komnas Perempuan dalam persidangan ini menyampaiakan laporan bahwa terdapat pendiskriminasian terhadap perempuan terkait perbedaan agama sehingga ada perempuan, yang agamanya tak termasuk agama resmi, tidak mendapatkan hak untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Apabila tidak memiliki KTP, menurut pihak Komnas Perempuan, maka hak-hak sebagai warga negara juga hilang. (RN Bayu Aji)