Dalam sidang Panel Perbaikan Permohonan tentang pengujian UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Kamis (11/3), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak salah satu isi petitum yang diajukan Pemohon agar MK memberikan pendapat bahwa hak angket DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 adalah hak yang dimiliki pemerintah RI yang memiliki masa jabatan sama dengan anggota DPR.
Hakim Akil Mochtar selaku Ketua Sidang Panel tersebut menjelaskan bahwa MK tidak pernah memberi pendapat pada putusannya. "MK tidak pada posisi untuk memberi pendapat atau fatwa karena berhubungan dengan pengujian Undang – Undang Dasar 1945", tegas Akil dalam sidang perkara Nomor 7/PUU-VIII/2010 dan 8/PUU-VIII/2010 ini.
Namun Pemohon Bambang Supriyanto sempat berdalih bahwa pendapat dari MK sangatlah penting agar pelaksanaan Pasal 77 UU a quo lebih baik lagi. Aryanti Artisari dan Jose Dima Satria, tanpa satu pemohon terakhir.
Disebabkan oleh petitum yang salah tersebut, para Hakim memerintahkan Pemohon untuk mengubah kembali isi berkas permohonan yang sebelumnya telah di-renvooi. Selain itu ada kesalahan lain dari isi petitum yang meminta MK menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon, padahal pemohon hanya melakukan pengujian formal atas perkara tersebut. Oleh karena hal itu, Hakim Harjono sempat mempertanyakan konsistensi Pemohon.
Ketua sidang memerintahkan perubahan petitum harus dilakukan hari itu juga karena waktu yang diberikan untuk melakukan perbaikan permohonan telah habis. "Tidak ada waktu untuk perubahan lagi. Jadi petitum harus diubah saat ini, kemudian perbaikan dikoordinasikan ke panitera. Kami tunggu hari ini juga," perintah Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Pada awal permulaan sidang, Akil Mochtar sempat menawarkan pilihan pada Pemohon untuk mencabut permohonan atau terus melanjutkan perkara, karena perkara ini berkaitan dengan kasus Bank Century, sementara kasus tersebut telah selesai. Namun para Pemohon tetap pada pendiriannya untuk terus melanjutkan perkara. Mengenai substansi permohonan masih tetap sama, "yaitu pelaksanaan hak angket harus relevan dengan yang satu zaman. Itu intinya yang dimohonkan." Papar Bambang Supriyanto.
Saat menjelaskan pokok perubahan, Bambang mengutarakan konstruksi kerugiannya bahwa mereka merasa dirugikan karena adanya inkonsistensi dari dua undang-undang yaitu UU Hak Angket Tahun 1954 dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD," jelas Bambang.
Atas penjelasan tersebut, Harjono meminta agar kerugian konstitusional dari terbentuknya undang-undang itu juga harus diuraikan. Sementara Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengingatkan Pemohon untuk memberi penekanan pada pengujian formil agar diperhatikan baik-baik mengenai aturan peralihannya. Fadlil juga menasehati agar dalam petitum harus ada permintaan, bahwa undang-undang yang lama sudah tidak berlaku lagi sehingga kehilangan validitasnya.
Menjelang akhir sidang, Akil Mochtar kembali mengingatkan Pemohon untuk menyusun berkas permohonan dengan baik. "Jangan ada yang salah lagi, kan tidak enak dilihatnya kalau ada yang dicoret-coret lagi karena permohonan ini akan disampaikan ke sembilan hakim, DPR, dan Presiden," tegasnya. (Nur Ika A/Yunita)