Tidak Beralasan Hukum, Pengujian UU Pajak Penghasilan Ditolak MK
Jumat, 12 Maret 2010
| 11:47 WIB
Seorang petugas recording system sedang merekam jalannya sidang pengucapan putusan uji UU Pajak Penghasilan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (11/3). (Humas MK/Yogi Djatnika)
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan Pemohon uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Kamis (11/3), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Menurut Majelis Hakim MK, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Perkara 128/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Moenaf Hamid Regar, seorang guru besar emeritus pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU). Menurut ketentuan UU PPh, Pemohon dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan. Materi Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU Pajak Penghasilan ini, di mata Pemohon, merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon berargumentasi pajak yang dia bayarkan tidak didasarkan atas UU, tetapi atas dasar Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Direktur Jenderal Pajak. Lalu, kerugian aktual yang dianggap merugikan Pemohon dan warga negara lainnya adalah dengan pemberian wewenang kepada Pemerintah, antara lain dapat dilihat dari PP No. 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (selanjutnya disebut PP 131/2000) yang mengatur mengenai pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk bunga deposito.
Pemohon mengungkapkan, jika tidak ada ketentuan mengenai pemberian wewenang pengaturan dengan PP seperti disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, maka Pemohon dan warga negara lainnya dapat dikenakan pajak yang lebih kecil ataupun mungkin tidak dikenakan pajak. Tetapi karena ada ketentuan itu, maka Pemohon dirugikan karena membayar pajak 20% yang seharusnya lebih kecil atau tidak dikenakan pajak.
Terhadap perkara ini, Mahkamah mempertimbangkan dua isu hukum dalam pengujian UU ini, yakni apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh UU kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum dan apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan UU ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari UU. Mahkamah menilai pendelegasian wewenang UU untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk UU (legal policy) yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu, tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah.
Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh UU kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum.
"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya," tegas Mahfud MD yang memimpin Sidang Pleno pengucapan putusan ini. (Yazid)