Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan siap memproses keputusan politik DPR, apabila para wakil rakyat menggunakan hak menyatakan pendapat, terkait skandal Bank Century. Meski demikian, MK tidak akan mendorong DPR menggunakan hak tersebut yang berpeluang besar berujung pada pemakzulan Wapres Boediono.
“Prinsipnya, MK itu stand by. MK itu, wajib pasif. Artinya tidak boleh menolak menyidangkan perkara, tetapi juga tidak boleh mendorong penggunaan hak menyatakan pendapat”, tegas Ketua MK Manfud MD, kepada SP, di Jakarta, Kamis (11/3).
Menurutnya, penyelesaian kasus Century bisa dilakukan melalui dua jalur, yakni melalui peradilan pidana dan jalur tata negara. Keduanya bisa berjalan secara simultan.
“Apabila ada dugaan korupsi dalam kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib menanganinya. Sedangkan, penyelesaian lewat jalur tata negara tetap harus menunggu keputusan politik DPR”, jelasnya.
Saat ditanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyidangkan perkara tersebut, Mahfud menyatakan, Sesuai UU diberi batas waktu 90 hari. “Tetapi saya kira prosesnya paling lama 30 hari. Karena mekanismenya lebih ringkas bila dibanding dengan peradilan pidana”, kata Mahfud.
Terkait hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengatakan, skandal Century harus terlebih dulu diselesaikan di ranah hukum.
“Rekomendasi DPR sudah jelas. Dalam pandangan saya, persoalan Bank Century adalah persoalan pidana. Jadi, percayakan saja pada lembaga penegak hukum, seperti KPK, untuk menuntaskannya”, katanya.
Ketika pengadilan telah memutuskan, lanjutnya, baru diserahkan kepada DPR. “Berdasarkan hasil putusan yang berkekuatan hukum tetap, DPR kemudian membawa ke MK. Tapi, sepertinya MK berkeinginan persoalan itu langsung dibawa ke MK”, katanya.
Disinggung apakah Wapres Boediono bisa dimintai keterangan MK dalam kapasitasnya sebagai mantan Gubernur BI, Indriyanto menjelaskan, hal itu dimungkinkan. Namun, dia mengingatkan, bahwa saat ini belum ada tradisi, konvensi, dan aturan yang mengatur pemanggilan presiden atau wapres oleh lembaga penegak hukum, terkait dugaan keterlibatan sebuah kasus hukum. “Kalau menteri yang dipanggil memang harus seizin Presiden. Tapi kalau wapres memang belum ada aturannya”, ujarnya.
MENOLAK
Namun, dua fraksi besar di DPR, yakni Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) menolak penggunaan hak menyatakan pendapat guna menuntaskan skandal Century. Kedua fraksi itu menegaskan, DPR konsisten pada rekomendasinya yakni mempercayakan penyelesaiannya pada lembaga penegak hukum. “Jika ada yang mendorong penggunaan hak menyatakan pendapat, justru itu makin memperjelas tendensi politik bahwa Pansus Century dibentuk dengan sasaran mengganti Pak Boediono”, kata Ketua FPD Anas Urbaningrum, Kamis pagi.
Menurut dia, hak menyatakan pendapat tujuannya tiada lain mengarah pada impeachment (pemakzulan) terhadap presiden atau wapres. Sementara itu, rekomendasi sidang paripurna DPR pada 4 Maret lalu, jelas tidak menyebutkan penggunaan hak menyatakan pendapat.
“Jadi tidak ada hal yang mendesak untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Kami jelas menolak hal ini. Kami konsisten dengan hasil sidang paripurna DPR dan rekomendasi yang telah disepakati semua fraksi”, ujar Anas.
Hal senada dikatakan Anggota FPDI-P, Maruarar Sirait. Meskipun hak menyatakan pendapat merupakan kewenangan DPR, terkait kasus Bank Century sudah ada keputusan bersama untuk menyerahkan tindak lanjutnya kepada lembaga penegak hukum.
Untuk saat ini, lanjutnya, fraksinya belum berpikir mengajukan hak menyatakan pendapat. “Itu yang harus terus kita kawal agar proses hukumnya bisa berjalan dengan independen dan menjawab harapan masyarakat”, kata mantan anggota Pansus Hak Angket Century tersebut.
Meski demikian, lanjut Maruarar, tidak tertutup kemungkinan bagi PDI-P untuk memelopori pengajuan hak menyatakan pendapat, jika proses hukum tidak berjalan baik atau menyimpang dari temuan-temuan DPR maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Makanya DPR harus membentuk tim pengawas, untuk mengawal apa yang telah diputuskan dan menjadi rekomendasi DPR”, kata Maruarar.
KPK MEMBANTAH
Sementara itu, KPK membantah kabar mengenai adanya perpecahan di jajaran pimpinan, terkait perlu tidaknya lembaga itu memanggil dan memeriksa Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam kasus Century. “Isu itu tidak benar. Pimpinan KPK tetap solid dan bekerja secara kolektif dan kolegial”, tegas Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan M Jasin. Menurutnya, KPK akan tetap bekerja secara profesional dan independen dalam pengusutan kasus Century, dan menjamin tidak ada proses yang menyimpang.
Bantahan senada disampaikan Juru Bicara KPK Johan Budi. “Tidak benar ada voting dalam memutuskan status hukum Century”, ujarnya.
Sebelumnya, anggota mantan anggota Pansus Hak Angket Century dari FPDIP Eva Kusuma Sundari mengaku mendapatkan informasi soal adanya perpecahan di KPK. Eva mengatakan, terjadi voting di antara lima pimpinan KPK, saat memutuskan perlu tidaknya Boediono dan Sri Mulyani segera diperiksa. Hasilnya, imbang, dua pimpinan sepakat kasus dilanjutkan, dua orang tidak perlu, dan satu pimpinan abstain. Terkait hal itu, Sekretaris Umum Masyarakat Transparansi Internasional Indonesia (MTII) Teten Masduki menjelaskan, dalam memutus kasus ini, suara pimpinan KPK harus bulat. Jika tidak, penuntasan kasus ini akan mendapat problem dari unsur pimpinan KPK sendiri.
Seperti diketahui, skandal Century sampai saat ini masih dalam tingkat penyelidikan di KPK. Dalam beberapa pekan terakhir, KPK sudah melakukan gelar perkara terkait Century. Namun belum ada perubahan status dari penyelidikan ke penyidikan.
Pada Rabu (10/3), KPK memeriksa mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim. Namun usai diperiksa, dia menolak memberi keterangan kepada wartawan.
Hermanus telah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hermanus dianggap terbukti melakukan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU 10/1998 tentang Perubahan atas UU 7/1992 tentang Perbankan. Hermanus disidang bersamaan dengan dua koleganya, Robert Tantular (mantan komisaris utama) dan Laurencius Kesuma (mantan direktur keuangan).
Sinar Indonesia