Setelah terpecah menjadi dua kekuatan besar, peluang advokat di Indonesia untuk kembali bersatu kian besar. Ini setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintah kepada para advokat untuk membentuk wadah tunggal. Bahkan pembentukan wadah tunggal tersebut diberikan deadline paling lambat 2 tahun setelah terbitnya putusan MK.
Keberadaan putusan tersebut mendapat perhatian serius dari kalangan advokat senior maupun advokat muda di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan digelarnya pertemuan para advokat di Hotel Jogja Plaza, Jumat (5/3) malam.
Selain diikuti para advokat senior dan muda di Jogja, acara tersebut juga diikuti para advokat dari berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makasar dan kotaâkota besar lainnya.
"Rekanârekan advokat yang datang dalam acara forum silaturahmi advokat Indonesia ini bukan hanya berasal dari satu organisasi. Tapi mereka berasal dari berbagai organisasi advokat. Mereka datang atas nama pribadi," ungkap Aprillia Supaliyanto SH selaku penggagas pertemuan tersebut.
Diakui, forum silaturahmi ini memiliki makna besar, terutama untuk menyikapi dinamika yang berkembang cukup besar dalam organisasi advokat.
Mengapa, karena dinamika tersebut telah berpengaruh pada eksistensi organisasii advokat. Apalagi setelah keluarnya putusan MK nomor 101.
"Putusan MK 101 memiliki konsekuensi bagi advokat semua. Dalam putusan ini ada perintah, yaitu dalam waktu 2 tahun sejak terbitnya putusan MK, maka para advokat diperintahkan untuk membentuk wadah tunggal advokat," ungkapnya.
Putusan MK tersebut memang tidak semuanya dijalankan. Terbukti, meski telah diperintahkan untuk tidak mempermasalahkan advokat muda dalam menjalankan profesinya, namun masih sering ditemui adanya lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri yang mempersoalkan advokat muda.
Kejadian ini tidak hanya dilakukan terhadap anggota organisasi advokat tertentu. Namun hampir dialami oleh advokat muda dari organisasi advokat manapun. Kondisii tersebut sangat mempengaruhi eksistensi organisasi advokat.
"MA sendiri realitanya memang tidak patuh terhadap putusan MK. Ini dibuktikan dengan adanya edaran dari MA agar Pengadilan Tinggi tidak menggelar sidang terbuka guna mengambil sumpah para advodat muda," kata Aprillia.
Hanya saja, apakah selaku penegak hukum, advokat juga akan melakukan hal yang sama atau tidak mematuhi putusan MK? Menurut Aprillia, putusan sama halnya dengan peraturan. Seberat apapun itu harus dijalankan, bila advokat ingin dikatakan sebagai penegak hukum yang patuh terhadap peraturan.
Diakuinya, untuk melaksanakan putusan MK, seperti membentuk organisasii wadah tunggal advokat dalam waktu 2 tahun memang tidak mudah. Apalagi ketika masingâmasing tetap berpijak pada pendiriannya.
Ini perlu dicarikan solusi bersama. "Memang dalam pertemuan tadi sempat terjadi perdebatan. Bahkan sempat ada yang mengatakan kalau MA saja tidak mematuhi putusan MK, lalu dasar advokat untuk mematuhi putusan itu apa?" tandasnya.
Hanya saja, hal itu tidak membuat Aprillia risau. "Saya yakin, putusan MK 101 tetap bisa dijalankan. Amanah MK untuk membentuk organisasi wadah tunggal advokat bisa terlaksana. Ini asal masingâmasing mau meninggalkan egonya. Artinya, masingâmasing harus jernih. Silahkan mau pakai nama apa? Apakah KAI, Peradi atau nama baru. Yang penting, bagaimana amanah dalam putusan MK bisa dijalankan," tegasnya.
Lebih lanjut Aprillia mengungkapkan kondisi ini memang tidak dimengerti oleh semua organisasi advokat. Karena itu, pasca pertemuan di Jogja diharapkan ada pertemuanâpertemuan advokat lainnya guna mendorong terlaksananya putusan MK 101.
Bernas.co.id