Masyarakat, secara kultural, tidak bisa dinilai dari pendekatan sosial-politik saja. Keberagaman bangsa yang majemuk tidak bisa serta-merta dimasukkan dan diwujudkan dalam sebuah perundang-undangan dengan mudah. Perlu sebuah integrasi dan juga pemahaman akan akulturasi masyarakat yang terus berkembang.
Demikian diungkapkan Soetandyo Wignjosoebroto selaku ahli yang didatangkan oleh Pemohon dalam sidang uji materi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) di ruang sidang pleno MK, Rabu (10/03).
"Pelaksanaan UU Penodaan Agama cenderung represif dan menimbulkan tindakan diskriminatif. Undang-undang akan menjadi ideal apabila bisa diterapkan dan berjalan seiring dengan kondisi riil masyarakat," tuturnya.
UU Penodaan Agama, menurut Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Airlangga ini, cenderung bermuara kepada enam agama yang disebutkan di dalamnya. Alangkah lebih baik apabila dimasukkan pula pendekatan secara kultural kondisi saat ini yang tentu berbeda dengan kondisi dikeluarkannya UU Penodaan Agama saat itu.
Sementara itu, menurut Ahli yang didatangkan oleh MK, Azyumardi Azra, sepakat jika perbuatan menistakan agama tidak boleh dilakukan karena akan mengakibatkan ketegangan di masyarakat. Namun di sisi lain, negara tidak boleh intervensi dan ikut menentukan mana yang merupakan penodaan dan penistaan. "Kalo dalam (agama) Islam, ada ijma’ ulama untuk menentukan tentang batasan tersebut," katanya.
Terkait peran negara dalam pengaturan hubungan keagamaan, Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah ini menginginkan adanya ketegasan negara dalam penegakan hukum. "Kekerasan terhadap agama, ataupun atas nama agama, harus diadili secara hukum," paparnya.
Sedangkan, Pihak Terkait dari Front Pembela Islam yang dihadiri langsung oleh pimpinannya, Habib Riziq, menyatakan bahwa dalam Islam terdapat metodologi penafsiran tersendiri dan ditentukan pula kriteria siapa yang boleh menafsirkannya. Ada dua hal yang harus diperhatikan antara masalah ushuluddin (pokok dasar ajaran) dan furu’iyah (cabang). "Mengenai kasus Ahmadiyah sebagai contoh yang melakukan penodaan agama, itu dikarenakan telah keluar dari ushuluddin," katanya.
Di akhir keterangannya, Habib Riziq menegaskan bahwa mengapa bisa terjadi penyerangan terhadap Ahmadiyah karena selama ini mereka tidak bisa dijerat dengan UU Penodaan Agama, sedangkan kasus lain seperti Arswendo yang membuat poling majalah dan menempatkan Nabi Muhammad pada nomor sebelas, dapat dijerat.
Oleh sebab itu, UU Penodaan Agama jangan dibatalkan karena nantinya tidak ada payung hukumya. "Apabila dibatalkan maka yang akan terjadi justru umat beragama akan menggunakan hukumnya masing-masing. Ketika ada penghinaan dan penistaan terhadap agama, saya mengingatkan bisa saja penyelesaiannya menggunakan cara pembunuhan, maupun orang yang menistakan akan disembelih," ungkapnya.
Berbeda dengan Asyumardi Azra, menurut Thahir Azhari dari Al-Irysad Islamiyah, Indonesia adalah religius nation state sehingga negara berhak mengatur. "Jadi negara memiliki otoritas mengatur individu dan kelompok masyarakatnya. Kebebasan bukan tidak ada batasnya dan harus ada pembatasannya," terangnya.
Sementara itu, menurut ahli kedua yang didatangkan MK, Sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, menyatakan bahwa kebenaran tidak bisa dimiliki secara mutlak dan tunggal oleh seseorang maupun kelompok karena agama merupakan tafsir dan selalu berkembang dan ada perbedaan sesuai konteks.
Kemajemukan yang ada di negeri ini, menurut Thamrin sudah ada sebelum Indonesia merdeka. "Negara tidak bisa hanya mengakui enam agama secara resmi karena akan menegasikan agama lokal yang jauh telah ada. Penodaan agama tak perlu diatur dalam UU yang khusus. Sudah ada semuanya dalam KUHP termasuk juga pelecehan nama baik dan penghinaan," ujarnya. (RN Bayu Aji)