Pemberhentian Sementara Anggota DPR Merupakan Pengusiran Lawan Politik
Selasa, 09 Maret 2010
| 12:12 WIB
Dari kiri ke kanan, para Ahli dari Pemohon, Philipus M Hadjon, Rudy Satrio, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara bersiap disumpah oleh Majelis Hakim Konstitusi sebelum memberikan keterangannya, Selasa (9/3), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Prana Patrayoga Adiputra)
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan uji materi UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terkait ketentuan pemberhentian sementara anggota DPR, Selasa (09/03), di ruang sidang pleno MK. Perkara permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 152/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Achmad Dimyati Natakusumah yang merasa haknya dirugikan dengan dapat diberhentikan sementara dari anggota DPR karena statusnya terdakwa dalam peradilan pidana meskipun belum ada vonis putusan yang tetap. Menanggapi hal itu, Pemerintah dalam persidangan menyatakan bahwa pemberhentian sementara yang terkandung dalam Pasal 219 ayat (1) UU tersebut mengandung nilai moralitas. Pilihan kebijakan tersebut bagi Pemerintah berdasarkan nurani dan menjaga kewibawaan lembaga DPR.
Selanjutnya, dalam ketentuan UU tersebut menurut Pemerintah tidak semua hak anggota DPR tidak dapat dilaksanakan. Ada hak yang masih dapat dilaksanakan dan juga membantu untuk menjalankan tugasnya.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon yakni Philipus M Hadjon menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 22B UUD 1945 tentang dapat diberhentikan dari jabatannya mengandung ketentuan diskresi. "Sebenarnya harus ada pilihan dengan argumentasi ataupun alasan yang jelas sehingga dalam penerapannya tidak menjadi kesewenang-wenangan maupun penyalahgunaan kewenangan. Hal itu berhubungan erat dengan konsekuensi hak lain yang tidak bisa digunakan," katanya.
Begitu juga dengan keterangan yang disampaikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, ketentuan Pasal 219 ayat (1) bisa dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah. Pelanggaran itu terdapat pada rumusan bahwa anggota DPR diberikan sanksi pemberhentian sementara meskipun belum dinyatakan bersalah dan memiliki keputusan yang tetap melalui proses peradilan.
"Apabila terdakwa yang merupakan anggota DPR dalam proses peradilan terbukti tidak bersalah, maka akan dapat aktif kembali. Kita semua tahu bahwa proses peradilan pidana memakan waktu yang lama. Dalam prakteknya pula ketentuan pemberhentian sementara justru menghalangi kinerja wakil rakyat untuk menyuarakan hak politik rakyat terutama konstituennya," papar mantan Ketua Komnas HAM ini. Konsep pemberhentian sementara menurut Abdul Hakim dapat membuka kesewenang-wenangan dalam mengusir lawan politik yang berseberangan dalam parlemen oleh penguasa. "Istilah pemberhentian sementara bisa menjadi permanen karena kita semua tahu proses peradilan pidana juga bisa ditunda-tunda. Bisa jadi dalam satu periode masa jabatan anggota DPR tidak dapat menjalankan fungsinya menyuarakan suara rakyat karena menunggu proses peradilan," ungkapnya.
Majelis Persidangan MK memberikan tanggapan bahwa dalam ketentuan pemberhentian sementara terdapat limitasi yang diancam hukuman pidana lima tahun. "Penerapannya tidak hanya umum tapi ada kekhususan," tutur Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Menurut Abdul Hakim, ketentuan semua itu harus terlebih dahulu melalui proses pengadilan baru diberikan sanksinya. Terkait dengan penerapan UU tersebut, menurutnya persamaan di hadapan hukum harus dilihat secara sosiologis sehingga menjadi seimbang.
"Apa yang sekarang dimintakan untuk diuji adalah rumusan pasal ataupun UU yang memang tidak sejalan dengan rumusan di dalam UUD yang kalau norma itu dijalankan akan berdampak implikasi melawan konstitusi," paparnya.
Pada akhirnya, Abdul Hakim berpendapat bahwa validitas atau keunggulan norma itu tidak diukur dari rumusan bahasan norma atau bahasanya saja, melainkan apakah dapat survive diuji secara empiris. "Kenyataan empiris menunjukkan pelaksanaannya tidak menjamin keadilan. Pemberhentian sementara bisa menjadi tetap atau permanen karena bisa terus-menerus sementara. Hal ini tentu saja membuka peluang penyalahgunaan. Maka rumusan itu menjadi gugur dan bahwa norma itu tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi," katanya. (RN Bayu Aji)