Senin, 8 Maret 2010
JAKARTA (Suara Karya): Dosen hukum tata negara Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Andi M Asrun mengatakan, Wakil Presiden Boediono bisa dimakzulkan tanpa melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
"MK tidak perlu terlibat dalam masalah ini (pemakzulan), karena proses hukum terjadi pada saat Pak Boediono belum menjadi Wapres. Jadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa segera memeriksa Pak Boediono dan harus didorong," kata Andi di Jakarta, Sabtu.
Ia menyebutkan, Pasal 7B UUD 1945 tidak bisa diterapkan pada diri Boediono, karena skandal bail out Bank Century terjadi saat Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI).
Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 berbunyi; "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".
Andi lebih lanjut mengatakan, bukti-bukti hukum sudah cukup kuat bagi KPK untuk memanggil Boediono. Salah satunya pengakuan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pemeriksaan Pansus Angket Century yang menyatakan bahwa dirinya merasa ditipu dan dibohongi oleh BI.
"BI itu siapa? Ternyata ada Pak Boediono. Ibu Fadjriyah (mantan Deputi Gubernur BI) mengatakan jangan berikan talangan, tapi Pak Boediono abaikan saja. Itu fakta hukum yang dimunculkan dalam Pansus, karena itu diberikan di bawah sumpah. Itu pro justicia, itu adalah bukti yang paling kuat untuk pengadilan," ujarnya.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, tanpa mengajukan hak menyatakan pendapat, hasil kesimpulan DPR terkait kasus Century dianggap tak bertaring. Rekomendasi tersebut dinilai hanya untuk memuaskan publik.
"Mungkin DPR ragu melihat Pak Boediono ini melakukan pelanggaran pidana karena tidak disiapkan mengajukan proses menyatakan pendapat," katanya di Jakarta, Sabtu.
Hamdan menilai rekomendasi DPR hanya sebagai keputusan politik biasa. Tidak ada niat menuju pemakzulan. "Karena bagi saya rekomendasi itu biasa. Mungkin untuk memuaskan hati rakyat saja biar (polemik) hilang lah," jelasnya.
Menurut Hamdan, keputusan DPR tidak mengikat secara hukum kepada penegak hukum. "Ada atau tidak ada rekomendasi ini, penegak hukum tetap jalan," tegasnya.
Namun, Hamdan melihat ada sisi baik dari keputusan tersebut. Setidaknya, gonjang-ganjing politik selama ini sedikit lebih tenang.
"Tapi ada baiknya lah dengan rekomendasi ini jadi bisa meredam gejolak politik dan memberikan pressure kepada penegak hukum," ujarnya. (Wilmar P)
Sumber: www.suarakarya-online.com