Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sangat berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengeluarkan putusan provisi terkait dualisme eksistensi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), baik yang dibentuk berdasarkan surat edaran bersama (SEB) KPU dan Bawaslu maupun bentukan KPU pasca pencabutan SEB karena dianggap pembentukan Panwaslu oleh Bawaslu tidak sesuai SEB. Namun, hal ini tidak serta merta berlaku surut membatalkan keanggotaan Panwaslu yang telah dilantik Bawaslu.
Demikian dikatakan Pemohon Prinsipal Wirdyaningsih (Anggota Bawaslu), dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang digelar, Senin (8/3), di gedung MK.
Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan untuk perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 ini dihadiri Pemohon prinsipal Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Wahidah Suaib, Wirdyaningsih dan Bambang Eka Cahya Widodo serta para staf Bawaslu, serta Kuasa Hukum Pemohon, Bambang Widjojanto, Iskandar Sonhadji, dan Ahmad Ghazali.
Berkaitan dengan perbaikan permohonan, Bambang Widjojanto menjelaskan, pertama, mengenai kuasa hukum, semula staf ahli hukum Bawaslu ikut mem-back up sebagai asistensi kuasa Pemohon. Pada perbaikan, kuasa hukum sepenuhnya dilimpahkan ke tim lawyer.
Kedua, berdasarkan nasehat Panel Hakim pada sidang pendahuluan (2/3), Pemohon menambahkan ayat pada Pasal 111 dan 112, yaitu menjadi Pasal 111 ayat (2) dan (3), Pasal 112 ayat (2) dan (3). Sebelumnya, norma materiil yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 93, Pasal 94 ayat (1),Pasal 94 ayat (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (3), dan Pasal 112 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu.
Ketiga, Pemohon mengubah legal standing dari Lembaga Negara menjadi Badan Hukum Publik. Keempat, Pemohon mempertajam rumusan adanya kerugian potensial dari adanya hubungan sebab akibat/kausalitas (causal verband) yang diderita Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Kelima, Pemohon menambahkan Permohonan Provisi dalam bab tersendiri, yaitu Bab V. Alasan yang mendasari Permohonan Provisi, dikatakan Bambang, berkaitan dengan pelaksanaan Pemilukada 2010 di 244 daerah yang terdiri dari tujuh pemilukada tingkat provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Problem lainnya, KPU tidak mengakui sebagian Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota yang telah dibentuk Bawaslu. Padahal Bawaslu telah berupaya melakukan langkah-langkah persuasif dengan KPU dan Menteri Dalam Negeri, sebelum membawa masalah ini ke MK. Bahkan surat edaran bersama (SEB) pun dinegasikan. "Dengan tidak diakuinya, atau dipersoalkan sebagiannya, maka eksistensi Panwaslu yang sudah dibentuk ini menjadi bermasalah," kata Bambang.
Keenam, pada bagian petitum, Pemohon menambahkan petitum dalam provisi, yaitu memohon Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan provisi Pemohon supaya Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota di daerah pemilukada yang telah ditetapkan dan dilantik oleh Bawaslu tetap menjalankan tugas mengawasi pemilukada tahun 2010. "Panwaslu bentukan Bawaslu adalah Panwaslu yang sah dan dapat tetap menjalankan wewenang dan kewajibannya sampai MK menjatuhkan putusan dalam perkara ini," tegas Bambang.
Di samping itu, karena adanya penambahan ayat (2) pada Pasal 111 dan Pasal 112, maka dalam petitium, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 112 ayat (2) dikualifikasi sebagai konstitutional bersyarat (conditionally constitutional), sepanjang KPU menindaklanjuti rekomendasi yang diajukan Bawaslu atau pengaduan masyarakat tentang laporan pelanggaran dengan membuat penetapan pembentukan Dewan Kehormatan, dengan kebutuhan KPU.
Dalam kilas kisahnya, Wirdyaningsih mengatakan, awalnya pihaknya mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung (MA). MA memerintahkan KPU dan Bawaslu membuat SEB. Kemudian terjadi perbedaan pendapat, lalu KPU mencabut SEB dan memerintahkan KPUD supaya meminta DPRD melakukan fit and proper test dan melantik anggota Panwaslu yang sebelumnya sudah dibentuk oleh Bawaslu. "Hal ini melanggar UU 12/2008," kata Wirdyaningsih. Dalam Pasal 236A UU 12/2008, kata Wirdya, DPRD berwenang melakukan perekrutan Panwas Pemilukada jika Bawaslu tidak sanggup membentuknya. Wirdya mencontohkan kasus di Sumbawa, kantor, dan aset-aset Panwas bentukan Bawaslu diduduki sehingga terjadi permasalahan di masyarakat.
Sementara itu, menjawab pertanyaan Ketua Panel Hakim terkait dengan jumlah anggota Panwaslu bentukan Bawaslu, Wahidah Suaib menyatakan, Bawaslu sudah melantik anggota Panwaslu di 192 daerah. "Ada 192 yang telah kami lantik, 20 melalui fit and proper test, selebihnya melalui SEB," kata Wahidah.
Kemudian, lanjut Wahidah, KPU memersoalkan 46 daerah dari 192 daerah yang menurut KPU melanggar SEB karena KPU berpatokan pada masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada Agustus 2010. Bawaslu melantik Panwaslu di 46 daerah tersebut karena berpatokan pada sumber resmi Ditjen Otda Kemendagri. Namun, seminggu kemudian ada revisi jadwal.
Sebelum mengakhiri sidang, Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar sebagai ketua, dua anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva mengesahkan alat bukti yang diajukan Pemohon. (Nur Rosihin Ana)