Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan persidangan uji materi UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Kamis (4/3), di ruang sidang pleno MK. Uji materi ini diajukan oleh Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) P.T. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Achmad Daryoko dan Sumadi karena menilai Pasal 10 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 11 UU ini telah dibatalkan oleh MK dalam pengujian UU 20/2002 yang juga mengatur tentang Ketenagalistrikan.
Menurut Pemohon perkara Nomor 149/PUU-VII/2009 ini, Pemerintah tetap memaksakan kehendak untuk membuat UU tentang ketenagalistrikan yang pernah dibatalkan oleh MK karena Pemerintah merasa berat menangani pengoperasian kelistrikan, sehingga sistem ketenagalistrikan diserahkan kepada masyarakat atau swasta dan Pemda.
Menyikapi permohonan ini, Pemerintah menyampaikan bahwa kedudukan hukum para Pemohon tidak tepat. "Pemohon bukanlah subjek hukum dan tidak sedang terkena ketentuan dalam UU Ketenagalistrikan," kata J, Purwono selaku Dirjen Listrik dan Penempatan Energi di Kementerian ESDM.
Untuk permasalahan substansi permohonan, Purwono menyatakan bahwa UU Ketenagalistrikan menjamin penyediaan listrik dengan baik dan tetap dikuasai oleh negara dalam artian kewenangan mengatur. "BUMN akan bekerja sama dengan Pemerintah dalam hal ini. Terkait penyediaan energi listrik, pemerintah mengaturnya bisa secara terintegrasi baik perorangan maupun kelompok sehingga memberikan kebebasan terhadap jenis usahanya," terangnya.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon di Bidang Sistem Kelistrikan Nasional, Syariffuddin, menyatakan bahwa pengaruh besar pada energi listrik berdampak pada ketergantungan terhadap minyak fosil sebagai pembangkit. Apabila Pemerintah melalui UU ini memaksakan privatisasi, maka yang terjadi adalah kenaikan harga listrik. "Permasalahan pasar yang dihadapi oleh PLN sebagai penyedia listrik harus segera diatasi," tuturnya.
Selanjutnya, menurut Ichsanuddin Noorsy yang menjadi catatan adalah intervensi asing di Indonesia tentang energi. "IMF ikut campur tangan dalam negeri ini. Kami dulu pernah menggugat IMF di International Tribune tapi ditolak karena yang boleh menggugat adalah Pemerintah. Saat itu saya sadar kalau kita memang pasti ditolak. Namun melihat itu, Pemerintah tetap saja menutup mata," ujarnya. Kedaulatan ekonomi tambah Ichsanuddin harus ditegakkan beriringan dengan kedaulatan politik. Energi primer tidak boleh diliberalkan oleh negara karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. "Apabila diliberalkan, problem harga melambung dapat memporak-porandakan negara karena ini merupakan sektor energi untuk hajat hidup orang banyak," terangnya. Mahkamah dalam persidangan ini memberikan masukan bahwa untuk sidang berikutnya Pemerintah diminta menghadirkan Ahli sebagai pembanding. "Apabila ada pembanding maka akan komprehensif pula bagi Mahkamah untuk memutuskannya kelak," tutur ketua MK, Moh. Mahfud MD. (RN Bayu Aji)