MAHKAMAH Konstitusi menguji aturan Peninjauan Kembali (PK) seperti yang diatur di UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, Pengujian UU No 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Ketiga, Pengujian UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan PK yang diatur dalam UU itu dinilai Muh Burhanuddin dan Rachmat Jaya, selaku pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Pasal yang diperkarakan antara lain UU 48/2009 khususnya Pasal 24 ayat (2), Pasal 66 ayat (1) UU No 14/1985 dan Pasal 268 ayat (3) UU No 8/1981 Pasal 24 ayat (2) UU No 48/2009 menyatakan bahwa terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Sementara Pasal 66 ayat (1) UU No 14/1985 menyatakan bahwa permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali. Sementara Pasal 268 ayat (3) UU 8 Tahun 1981 menegaskan, permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Ketentuan pasal a quo (yang diuji) tersebut oleh pemohon dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal a quo juga dinilai tidak jelas, tidak teliti dan tidak menjamin kepastian hukum. Buktinya, banyak PK lebih dari satu kali di MA. Bahkan, ada yang hingga sampai empat kali.
Pemohon juga meminta majelis hakim konstitusi yang diketuai hakim Hamdan Zoelva untuk menetapkan provisi yang memerintahkan Ketua MA agar menunda proses persidangan atau pemeriksaan berkas perkara Nomor 646/PK/PDT/2009 sampai adanya putusan pengujian UU ini.
"Klien kami menang PK, tapi MA menerima PK kedua, karena itulah kami mengajukan perkara ini," kata Farhat Abbas, kuasa hukum pemohon. Namun, hakim konstitusi Harjono mengingatkan agar pemohon yang merupakan advokat untuk memberikan penjelasan adanya kerugian konstitusional terkait penerapan pasal-pasal yang diperkarakan.
M. Yamin Panca Setia, Jurnal Nasional