TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan pasal dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Mahkamah Agung, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang mengatur Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa dilakukan satu kali.
Menurut Farhat Abbas, kuasa hukum pemohon uji materi, permintaan itu dilayangkan agar kliennya bisa mengajukan PK kembali atas PK lain yang dinilai tak adil.
Klien Farhat adalah Muh. Burhanuddin dan Rachmat Jaya, pengacara PT Harangganjang dalam sengketa tanah di Jalan Sudirman kavling 63. Selama 18 tahun, pemilik Harangganjang, Herry Wijaya, berebut kavling di seberang Ratu Plaza itu dengan PT Graha Metropolitan Nuansa yang sempat dimiliki Artalyta Suryani. Harangganjang pernah mengajukan PK dan menang, namun ternyata ada PK lain yang diajukan dan dimenangkan Graha Metropolitan. Harangganjang ingin mengajukan PK lagi tetapi terganjal aturan yang ada.
Pemohon mengajukan uji materi UU Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat (2), UU MA pasal 66 ayat (1), dan KUHAP pasal 268 ayat (3), yang mengatur permohonan PK bisa diajukan sekali saja, kepada Mahkamah Konstitusi.
"Pasal-pasal tersebut tidak memiliki kejelasan, ketelitian, dan konsistensi dalam kepastian hukum. Karena fakta hukum sangat banyak proses pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari sekali, bahkan sampai empat kali," tutur Farhat dalam sidang perdana uji materi di Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/3).
Ketua Panel Sidang Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva meminta pemohon memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari. Sebab, pemohon belum menguraikan jelas perihal kerugian konstitusional yang diderita dalam permohonannya.
"Pemohon adalah advokat, apakah dalam posisi seperti itu ada hak konstitusional yg diatur Undang-Undang Dasar, dan apakah betul dirugikan? Harus ada uraian yang jelas, bahwa pemohon yang dirugikan. Diuraikan betul apakah kerugian disebabkan norma, atau implementasinya," ucap Hamdan.
Kamis, 04 Maret 2010 | 12:19 WIB BUNGA MANGGIASIH