"Saat mendaftar saya harus mendapatkan surat keterangan berkelakuan baik dari pihak kepolisian. Saya mengurusnya dari polsek sampai polres di Bekasi. Saat mengurus saya diberitahu kalau penganut Penghayat tidak bisa jadi tentara (ABRI saat itu, red). Saya disarankan mengubahnya dan dengan berat hati saya mengubahnya dengan salah satu agama yang diakui pemerintah demi cita-cita terbesar saya menjadi tentara," tuturnya.
Setelah mengubah, menurut Sardy, yang aneh adalah saya justru dipanggil penyidik dan saya dinterogasi mengenai aktivitas Penghayat. "Saya bilang kalau Penghayat mulai desa sampai tingkat kabupaten/kota di Bekasi sudah banyak dan ada pengurusnya. Kalau bapak polisi tidak mengetahui berarti kurang informasi. Kemudian kepala saya dipukuli oleh polisi dan dibawa ke atasannya," lanjutnya.
Sardy akhirnya merenung di sebuah gunung di Serang Banten. Tanpa ragu setelah itu ia membuang ijasahnya ke sungai karena beranggapan bahwa sia-sia apa yang ia lakukan selama ini belajar selama 12 tahun. "Buat apa punya ijasah dan belajar kalau ia dipermasalahan karena menjadi pengikut Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga tidak bisa membela negara dengan cara masuk ABRI," kisahnya.
Selanjutnya, Andi Hamzah yang merupakan ahli hukum pidana yang didatangkan MK menyatakan bahwa di negara manapun tidak ada yang netral terkait pengaturan undang-undang. Sebagai contohnya adalah delik kesusilaan, delik agama, dan delik ideologi. "Namun demikian, bagi saya negara tidak boleh memidanakan sebuah pemikiran. Indonesia memakai azas legalitas tapi kurang memadai sehingga pasal dalam undang-undang seringkali bersifat karet," terangnya.
Oleh sebab itu, menurut Andi UU Penodaan Agama ini yang sebenarnya mengatur administrasi hendaknya tidak memberikan hukuman berat sampai lima tahun. Pasal-pasalnya juga multitafsir dan secara ketentuan hukum administrasi salah karena sanksi dalam UU yang bersifat administrasi adalah paling berat maksimal satu tahun penjara.
Sementara itu, Ahli Edward OS Hiariej dari UGM memiliki pandangan berbeda dengan Andi Hamzah bahwa UU Penodaan ini sudah tepat terkait kepastian hukumnya. "UU Penodaan Agama memiliki kegunaan untuk mencegah tindakan yang tidak normal terkait permasalahan terutama penodaan dan penistaan agama yang sensitif. Keberadaan UU ini untuk mencegah konflik," katanya.
Menurut Edward proses pemidanaan UU ini telah tepat, terdapat tahapan yakni penerapan pidana diambil setelah lebih dulu ada hukuman administratif dengan peringatan dan hukuman administrasi berupa pembubaran kelompok tertentu yang berusaha menyebarkan kebencian dan penodaan.
"Ada dua hal yang bisa dipilih MK dalam pemutusan uji materi ini. Menurut filsuf Immanuel Kant, adanya kepastian hukum justru bisa menjadikan hukum semakin tidak adil. Dalam hal ini, saya menyerahkan semuanya kepada MK apakah memilih kepastian hukum atau mementingkan keadilan dalam memutus perkara ini," tuturnya.
Dalam pembahasan penodaan agama, Irene Handoyo dari yayasan Irene Center dalam persidangan ini menayangkan slide yang menjelaskan contoh penodaan agama. Beberapa penodaan itu menurut irene bisa melalui buku, VCD, dan brosur.
"Contohnya sudah jelas dalam buku, VCD, dan brosur yang menunjukkan bahwa (Rasul) Muhammad dianggap sebagai nabi tukang sodomi, Allah sebagai tuhan dikatakan dewa bulan, Al-Qur’an bukan wahyu. Selain itu, adalah ucapan (musikus) Elton John yakni Jesus is a gay lord (Yesus adalah Tuhan gay red.)," contohnya.
Selama ini tutur Irene kita semua masih bisa menahan kemarahan karena kami menjunjung tinggi hukum dan taat hukum. "Jadi, permohonan uji UU Penodaan ini harus ditolak oleh MK," pintanya kepada MK.
Di akhir pesidangan, pihak Himpunan Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa menyesalkan keterangan dari ahli Nurdiati Akma yang menyatakan bahwa dia menolak orang-orang yang mengakui Tuhan tapi tidak beragama dan negara hanya mengakui enam agama sehingga yang lainnya harus bernaung dalam salah satu agama tersebut kalau mau diberi jaminan oleh negara.
"Kalau ahli mengatakan seperti itu dan kami juga tidak boleh ada di Indonesia kalau tidak beragama tapi percaya kepada Tuhan, maka bagaimana hak kami sebagai warga negara. Kami ini justru pewaris agama lokal nenek moyang jauh sebelum ada agama-agama yang diakui resmi oleh negara," tutur Aa. Sudirman. (RN Bayu Aji)