Pengadilan Anak Indonesia Butuh Penegak Hukum Khusus Anak
Rabu, 03 Maret 2010
| 09:49 WIB
Mahkamah Konstitusi menyidangkan uji materi UU Pengadilan Anak, Selasa (2/3), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Wiwik Budi Wasito)
Indonesia membutuhkan para penegak hukum seperti polisi dan jaksa yang khusus menangani anak. Mereka diharapkan mampu menangani psikologi anak yang terlibat dalam kasus pidana. Hal ini disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana Mudzakkir, ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemerintah, dalam pengujian undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak), Selasa (2/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Selama ini, lanjut Mudzakkir, penegak hukum yang menangani kasus berkaitan dengan anak maupun pengadilan anak dilakukan oleh polisi, jaksa hingga hakim yang hanya mengurus kasus anak. "Para penegak hukum kita belum ada yang benar-benar dispesifikasikan untuk menangani kasus anak. Seharusnya disediakan khusus yang mengerti latar belakang dan psikologi anak," jelasnya dalam sidang perkara Nomor 1/PUU-VIII/2008 ini. Namun Mudzakkir menilai bahwa pilihan penjatuhan pidana dalam pengadilan anak yang berlangsung selama ini mengutamakan kepentingan anak. "Sanksi pidana disesuaikan dengan kepentingan anak. Keputusan diserahkan pada hakim. Akan tetapi, lazimnya, anak usia 8 – 12 tahun yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi hukuman dikembalikan kepada orangtua," tuturnya. Mengenai permohonan Pemohon yang meminta agar frasa "…pidana atau…" dalam Pasal 22 UU Pengadilan Anak dihilangkan, Mudzakkir berpendapat hal itu akan mempengaruhi pilihan penjatuhan sanksi yang bisa berakibat buruk bagi masyarakat. Mudzakkir mencontohkan jika seorang anak berumur 18 tahun melakukan tindak pidana yang serius, sementara pilihan sanksi pidana dihapuskan, maka akan berbahaya bagi masyakarat. Oleh karena itu, jelas Mudzakkir, Pemohon jangan hanya melihat dari sisi anak sebagai terpidana, tetapi juga harus melihat kepentingan masyarakat. "Sanksi pidana dalam UU Pengadilan Anak hanya sebagai peringatan agar anak tidak melakukan tindak pidana yang dapat melanggar hukum," ujarnya. Selain itu, mengenai batas umur anak dapat dipidana seperti yang tercantum dalam frasa "sekurang-kurangnya umur 8 (delapan) tahun", Mudzakkir berpendapat hal tersebut diterapkan berbeda di setiap negara. "Di Indonesia, batas usia minimum delapan tahun menjadi kesepakatan saat UU Pengadilan Anak dibentuk," jelasnya. Akan tetapi, Pemohon berpijak pada konvensi PBB yang menyatakan bahwa batas minum anak dipidanakan ialah 12 tahun. Muhammad Joni selaku Kuasa Hukum Pemohon menjelaskan bahwa PBB menganggap batas usia minimum anak dapat dipidanakan ialah delapan tahun, terlalu rendah. "PBB menyebut batas usia delapan tahun tersebut dengan istilah ‘not rationally acceptable’ atau ‘tidak dapat diterima secara rasional’," tukasnya. Menanggapi pernyataan Joni, Mudzakkir berpendapat hal tersebut tidak tepat. Menurutnya, menguji konstitusionalitas suatu pasal dalam undang-undang bukan berkaitan dengan konvensi PBB. "Konvensi PBB tidak menginterpretasi nilai dari Pasal 28D UUD 1945. Hukum yang berlaku di Indonesia harus dinterpretasi dalam sistem hukum Indonesia, yakni UUD 1945 sebagai konstitusi," katanya. Mudzakkir juga mengungkapkan bahwa prinsip diskresi akan lebih baik diterapkan untuk pengadilan anak. "Semakin banyak ruang diskresi, maka akan semakin baik diterapkan bagi pengadilan anak," jelasnya. Persidangan berikutnya mengagendakan mendengar keterangan saksi maupun ahli dari Pemohon. (Lulu A.)