Senin, 01 March 2010]
LSM khawatir Bawaslu terjebak dalam pertarungan ego lembaga.
Perseteruan antara Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum terkait masalah pembentukan panitia pengawas (panwas) untuk Pemilu Kepala Daerah di tahun 2010, telah bermuara di Mahkamah Konstitusi (MK). Kesepakatan bersama dalam Surat Edaran Bersama (SEB) antara Bawaslu dan KPU beberapa waktu lalu, tidak bisa berjalan mulus bahkan berujung konflik yang lebih meruncing.
Upaya Komisi II DPR bersama dengan Menteri Dalam Negeri memfasilitasi Bawaslu dan KPU agar bisa berdamai pun tidak membuahkan hasil. Bukan malah mereda, kini Bawaslu justru mencoba menghilangkan kewenangan KPU sepenuhnya dalam urusan pembentukan panwas melalui judicial review ke MK. Ada lima pasal UU No 22 Tahun 2007 yang diuji yakni Pasal 93, Pasal 94 ayat (1), ayat (2), Pasal 111 ayat (3), Pasal 112 ayat (3). Kesemua pasal yang diuji terkait dengan kewenangan KPU dalam soal pembentukan panwas.
Dihubungi hukumonline, Anggota KPU Syamsul Bahri terkesan tenang menyikapi langkah judicial review Bawaslu. “Kita sebenarnya tidak ada masalah, karena kita tujuannya itu supaya nanti asas pemilu transparan itu, ada yang mengawasi, walaupun kita tahu juga, yang mengawasi juga banyak. Ada masyarakat, ada LSM. Tidak akan mampu kalau hanya sekedar panwas saja,” ujar Syamsul.
Kalaupun judicial review Bawaslu ini dikabulkan oleh MK, kata Syamsul, KPU akan menerima dengan lapang dada. “Kalau dibatalkan, saya rasa kita taat saja lah. Taat asas, mengikuti putusan,” imbuhnya. KPU, tambah Syamsul, sesuai dengan mandatnya hanyalah menjalankan undang-undang yang berlaku. “Kita kan tidak bisa menafsirkan sendiri,” tukasnya lagi.
Langkah terlambat
Sementara, pengamat pemilu dari Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Jeirry Sumampow mendukung penuh langkah Bawaslu mengajukan judicial review. Jeirry menilai langkah Bawaslu ini adalah cara pamungkas setelah cara-cara lain tidak berhasil mengeliminir selisih paham dengan KPU. Ia berharap judicial review Bawaslu diarahkan hanya untuk menyelesaikan polemik panwas Pemilu Kada. Sementara, kewenangan pengawasan secara umum sebaiknya menunggu revisi UU No 22 Tahun 2007.
“Saya setuju dengan semangat dan tujuan dari Bawaslu melakukan judicial review. Panwas akan lebih bisa dijamin profesionalitas dan independensinya kalau rekrutmen panwas dilakukan langsung oleh Bawaslu. Cara ini jauh lebih adil,” paparnya.
Namun begitu, Jeirry menilai langkah Bawaslu agak terlambat karena Pemilu Kada akan segera digelar di beberapa daerah. Tahapan Pemilu Kada, lanjutnya, tidak akan berhenti untuk menunggu hasil judicial review di MK. “Sementara proses di MK pasti akan memakan waktu lama. Mestinya sejak tahun lalu, Bawaslu melakukan judicial review,” ungkapnya.
Jeirry khawatir kalaupun nanti menang di MK, Bawaslu akan dihadapkan dengan kendala waktu. Ia memprediksi putusan MK nanti tidak bisa langsung dijalankan karena harus dibekali dengan aturan teknis tentang mekanisme pembentukan panwas untuk Pemilu Kada. Permasalahan waktu ini harus dipertimbangkan Bawaslu agar judicial review tidak menjadi sia-sia atau bahkan terjebak dalam perseteruan ego lembaga semata.
“Ada kemungkinan, setelah semua tahapan Pemilu kada 2010 selesai, baru persoalan pembentukan panwas ini usai. Kalaupun nantinya panwas terbentuk pasca putusan MK, proses Pemilu Kada telah setengah perjalanan,” papar Jeirry.
Anggota Komisi II DPR Nurul Arifin mengatakan sistem pengawasan pemilu memang menjadi topik penting dalam pembahasan revisi UU No 22 Tahun 2007. Sejauh ini, kata Nurul, Komisi II masih menimbang-nimbang apakah keberadaan lembaga pengawas pemilu perlu dipertahankan atau tidak.[Sam]
Sumber: www.hukumonline.com