Memperdebatkan Pemberlakuan Sistem Zona dan Perlindungan Konsumen
Kamis, 25 Februari 2010
| 14:13 WIB
Para Ahli, baik dari Pemohon maupun Pemerintah, diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan dalam sidang uji UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kamis (25/2), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Wiwik Budi Wasito)
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali sidangkan uji materi UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (25/02/2010) pukul 09.30 WIB. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Pemohon yang terdiri dari IGJ, PDHI, GKSI, WAMTI, SPI, YLKI, Yayasan KPA serta Teguh Boediyana dkk memohon pengujian empat norma UU a quo, yakni Pasal 44 Ayat (3) yang tertera "Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". Lalu, Pasal 59 Ayat (2) sepanjang kata "unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona" yang lengkapnya berbunyi "produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan". Selanjutnya, Pasal 59 Ayat (4) sepanjang kata "atau kaidah internasional" yang lengkapnya berbunyi "Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional", dan Pasal 68 ayat (4) sepanjang kata "dapat" yang lengkapnya berbunyi "dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner". "Sistem zona dapat berakibat fatal dibandingkan sistem negara. Jika hewan memiliki penyakit berbahaya, maka tidak akan diperbolehkan masuk suatu negara," kata Hira Jhamtani, Ahli dari Pemohon yang mengomentari Pasal 59 Ayat (2). Hira meninjaunya dari penyakit sapi gila. Menurutnya, penyakit ini selalu berakhir dengan kematian, sebab merupakan penyakit menular yang menyerang otak. Yusuf Shofie, ahli Pemohon lainnya, menyitir UU perlindungan konsumen. Menurutnya, dalam UU perlindungan konsumen, tidak ada kata-kata "hewan" dalam UU tersebut. Sehingga, dalam melindungi konsumen, yang dipakai adalah UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. "Ini baru pertama kalinya UU yang melindungi konsumen hewan ternak diuji di MK," sambut Yusuf.
Sementara ahli dari pemerintah justru melihat bahwa sistem zona justru sejalan dengan GATT (General Agreement on Trade and Tariff). Pendekatan zona justru memudahkan negara untuk merangsang ekspor. (Yazid)