Hak Asasi Manusia (HAM) tidak boleh dikurangi dan dicabut oleh siapapun. Namun Negara diperbolehkan mengaturnya. Terkait kebebasan beragama sebagai HAM, terdapat tiga poin yakni hak subsisten untuk bertahan, hak kebebasan berbicara, berkesadaran, beragama, dan hak legal perlindungan sebagai hak keadilan serta kepastian hukum.
Demikian diungkapkan M.M. Billah selaku ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyelahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) di ruang sidang pleno MK, Rabu (24/02).
"Dalam permasalahan kebebasan beragama ada ketentuan freedom to be untuk memeluk yang tak boleh di ganggu gugat dan Freedom to act yang bisa diatur. Namun dalam UU Penodaan agaman ini khususnya Pasal 1 berpotensi melanggar hak kebebasan beragama. Di samping itu, masalah kepastian hukum juga dilanggar," tutur Billah kepada Majelis Hakim Konstitusi.
Istilah Penodaan Agama menurut Billah adalah noda atau noktah yang mengarah kepada kotoran yang terdapat pada objek yakni agama. "Maka perlu diberi catatan tidak ada penyebutan konkrit apa penodaan agama dalam UU ini karena agama merupakan tafsir. Selanjutnya apabila dikatakan penodaan maka harus ada ukuran bukti penodaan agama tersebut," katanya. Selanjutnya ahli Pemohon yakni J.E. Sahetapy juga menyatakan bahwa semua telah diatur dalam KUHP. Problem dari UU ini adalah terkait masalah pidana dan hal itu harus dibahas secara konseptual dan tidak bisa hanya berdasar hukum pidana secara sosiologis.
"Masing-masing kelompok yang pro dan kontra memiliki pembenaran. Belum ada proses pidananya, rumah ibadah ada yang dibakar. Sedangkan itu pemerintah merasa paling berwenang dan merasa paling benar sendiri, yang justru menampakkan ironi," tuturnya. Hakim Konstitusi Akil Mochtar menanggapi bagaimana konteks penodaan yang bersifat permusuhan ketika dilakukan di muka umum yang harus ada ancaman pidananya. "Warga kita mempercayai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara yuridis seperti apa," tanyanya.
Menanggapi hal itu, Billah menyatakan bahwa negara kita memang berdasar Pancasila dan tidak hanya sila pertama, melainkan harus semua sila. "Bagaimana kalau UU ini dibatalkan? Saya teringat zaman (Presiden) Soeharto ketika ada UU Subversif. Ketika dibatalkan, maka kembali ke KUHP," ungkapnya. Di akhir keterangannya, Billah mengingatkan bahwa kita boleh memiliki prasangka dan memiliki perbedaan. "Tapi perbedaan itu jangan menggunakan kekerasan," jelasnya.
Di pihak lain, Ahli dari Pemerintah, Dr. Rusli Ali Muhammad menyatakan bahwa UU Penodaan Agama hendaknya jangan dicabut ataupun dibatalkan karena bisa menimbulkan potensi konflik antar umat beragama.
Sejalan dengan pernyataan itu, Rahim Yunus yang juga merupakan ahli dari Pemerintah menjelaskan bahwa pencabutan UU Penodaan agama juga memberi peluang untuk menjamin kebebasan menghujat kepada suatu agama. "Kalau tidak ada payung hukumnya, pasti ada konflik," terangnya.
Rahim menambahkan bahwa pokok ajaran agama itu penting dan harus dilindungi. "Jangan sampai terjadi kebebasan untuk saling menodai agama," tambahnya.
Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Suhadi Sanjaja dari Walubi yakni kebebasan bukan tanpa batas. Apabila tidak ada rambu-rambunya maka akan terjadi pergesekan yang mengarah kepada konflik.
"Saat ini kehidupan nasional butuh payung hukum yakni tentang pencegahan penodaan dan penyalahgunaan agama. Penodaan agama bisa membahayakan persatuan nasional. Oleh sebab itu Walubi memohon kepada MK untuk menyatakan UU ini tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan menolak pengujian UU Penodaan (Agama) ini," tutur Suhadi.
Berbeda yang disampaikan oleh BKOK (Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan) bahwa dalam realitanya masih saja terjadi penodaan terhadap aliran kepercayaan. Selalu ada sikap curiga terhadap aliran kepercayaan. Sementara itu muncul juga kekerasan yang membahayakan kehidupan bernegara. BKOK menilai penganut kepercayaan selama ini digambarkan sebagai salah satu penyebab perpecahan bangsa terkait penodaan agama.
"Hal ini naif karena aliran kepercayaan adalah komunitas lemah. Jangankan memecah belah, membela diri saja tak bisa. Komunitas kita banyak menjadi korban mulai dari era kolonial sampai sekarang. Kita dianggap kafir dan dituduh sesat padahal kita ini merupakan pewaris kepercayaan lokal di negeri ini yang menjunjung cinta dan damai," ujar Engkus Ruswana.
Engkus mencontohkan kalau aliran kepercayaan selalu ditindak dengan UU Penodaan agama dan saat tahun 1965 dituduh antek-antek PKI dan bahkan ada yang ikut terbunuh serta dipenjarakan.
"UU Penodaan agama ini justru sangat diskriminatif terhadap aliran kepercayaan. Kalau kita dinistakan dan dinodai oleh kelompok beragama, tetap saja kami tidak memiliki perlindungan," terangnya.
Dalam persidangan ini dihadirkan pula pihak dari HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa) yang kemudian mengajak semua pihak yang beracara merenung sejenak. HPK merasa pihaknya selalu terkena pasal-pasal penodaan agama.
"Kami mengetuk semauanya tanpa ingin menggurui. Kami cemburu terhadap agama-agama lain yang mendapat jaminan pasti dari negara, sedangkan kita hanya mendapat ancaman terus menerus," ungkap Aa. Sudirman.
Aa. Sudirman melanjutkan bahwa baru pertama kali ini mereka mengeluarkan pendapat secara resmi dan dihargai. "Kami yang selalu dihina ternyata masih diberi kesempatan. Menurut pendiri bangsa Bung Karno, makna Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki tiga pokok penting selain masalah religi yakni harus memiliki budi pekerti, memberi budaya, dan saling menghormati," ujarnya. (RN Bayu Aji)