Kamis, 25 Februari 2010
JAKARTA (Suara Karya): Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan pembuatan undang-undang di DPR sering berdasarkan kompromi sehingga membuahkan permainan politik.
"UU seringkali berdasarkan kompromi dari sebuah permainan politik. Akibatnya, isi UU tidak lagi substansi hukum yang benar tapi kesepakatan politik saja," ujar Mahfud kepada wartawan di gedung MK, Jakarta, kemarin.
Di samping berdasarkan kompromi politik, menurut Mahfud, DPR seringkali pula kurang cermat dalam mengesahkan UU. "Seperti tadi kami baru uji UU antara Pasal 348 dan Pasal 103 bertentangan. Tapi itu tidak ada permainan politik, karena tidak cermat saja," paparnya.
Selain itu, ia juga menilai suatu UU menjadi kurang bagus karena perubahan situasi. "Ketika UU itu dibuat masih bagus tapi 20 tahun kemudian masyarakat menghendaki hal lain. Karena tidak sesuai kebutuhan maka masyarakat minta batalkan sebab tidak sesuai konstitusi baru pula," tuturnya.
Menurut dia, MK telah melakukan pengujian sebanyak 296 kali 108 UU. "Ada beberapa UU yang diuji berkali-kali, seperti UU Pemilu 11 kali, UU KPK 9 kali," jelasnya. Akhirnya sebanyak 58 UU dibatalkan MK.
Mengenai begitu banyaknya UU yang dibatalkan itu, Mahfud MD mengatakan pemerintah terlalu "genit" mengeluarkan undang-undang. "Saya juga melihat beberapa UU tumpang-tindih itu karena menteri-menteri genit," katanya.
Ia menilai, menteri-menteri terkadang membuat UU supaya terlihat bekerja. "Artinya, kalau menjadi menteri harus buat UU. Meski UU itu sudah ada, tetap ingin diubah. Pokonya biar ada tandanya dia jadi menteri itu buat UU," ungkapnya.
Oleh sebab itu, papar Mahfud, Prolegnas di DPR semakin menumpuk. "Karena setiap menteri usulkan UU ini, tanpa jelas urgensinya," tuturnya seraya mengungkapkan pengalamannya saat menjadi Wakil Ketua Badan Legislatif di DPR. Menurutnya, menteri memiliki keinginan untuk membuat sebuah UU.
"Menteri-menteri itu ingin sekali buat UU. UU diusulkan dulu ke presiden lalu digodok Kementerian Hukum dan HAM. Dulu kalau ada yang tidak lolos di Kementerian Hukum dan HAM, lalu langsung masuk ke DPR menyuruh 13 orang tandatangan hingga jadi UU inisiatif DPR. Itu 'kan tidak benar," katanya.
Mahfud mencontohkan tumpang-tindih yang terjadi dalam UU Kehutanan, UU Sumber Daya Alam dan UU Pokok Agraria. "Sudah diatur dalam UU Kehutanan tetapi masih diatur lagi dalam UU Sumber Daya Alam dan UU Agraria," ungkapnya. Hal tersebut terjadi, kata Mahfud, disebabkan tidak adanya pendalaman. (Wilmar P)
Sumber: www.suarakarya-online.com