Hakim Konstitusi Harjono mengatakan bahwa konstitusi akan memberi legitimasi kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki lembaga negara. "Dengan fungsi itu, kita bisa mengukur apakah konstitusi sudah bisa dikatakan baik atau tidak, dilihat dari cara memberi legitimasi tersebut," ungkap Harjono saat memberikan kuliah umum kepada mahasiswa Program Studi Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (24/2).
Kalau pemberian legitimasi dari konstitusi ke lembaga-lembaga negara menjadi tak terbatas dan sewenang-wenang, lanjut Harjono, maka konstitusi itu tak bisa dikatakan baik. Mengutip John Locke, Harjono mengatakan bahwa dalam kontrak sosial tidak seluruh hak-hak sosial diberikan kepada penguasa.
"Bila legitimasi konstitusi diberikan tanpa batas dan sewenang-wenang, membuat situasi menjadi kurang baik. Ibarat ungkapan bahwa ‘manusia adalah serigala bagi manusia lain’," ujar Harjono setengah berfilosofi dengan mengutip pendapat tokoh bernama Hobbes.
Dengan demikian, lanjut Harjono, pemberian legitimasi kewenangan yang baik tidak mengarah kepada situasi yang otoritarian dari kekuasaan. Legitimasi konstitusi yang diberikan tanpa batas, pernah terjadi pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Dua tokoh itu dikenal memiliki kekuasaan yang sangat kuat, menduduki jabatan Presiden dalam kurun waktu cukup lama, diistilahkan adanya concentration of power.
"Kalau bisa, MPRS atau MPR menjadi bayang-bayang di bawah Presiden," kata Harjono lagi. Namun pada kenyataannya, saat kekuasaan MPRS berada ‘di atas’ Presiden Soekarno, maka Soekarno pun dimakzulkan oleh MPRS.
Pada bagian lain, Harjono juga menuturkan sejarah dan latar belakang terjadinya amandemen UUD 1945. Terjadinya amandemen atau perubahan UUD 1945 tidak bisa dilepaskan dari situasi Indonesia pada 1997 dengan munculnya krisis moneter, lalu meluas menjadi krisis ekonomi, politik, krisis kepercayaan, hingga timbul gerakan reformasi pada 1998. "Saat itu berbagai tuntutan rakyat merebak, mulai dari tuntutan demokrasi, rule of law, penegakan HAM, pemberantasan KKN, dan sebagainya," jelas Harjono.
Setelah diadakan Pemilu 1999 dan terbentuk DPR dan MPR, maka MPR dalam sidang-sidangnya telah mengamandemen UUD 1945 sebagai langkah awal reformasi hukum. Amandemen dilakukan secara bertahap sejak sidang umum MPR tahun 1999 sampai sidang tahunan 2002 (empat kali amandemen) yang salah satu isinya mengamanahkan pembentukan MK. (Nano Tresna A.)