Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar persidangan uji materi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang dimohonkan oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh dkk, di ruang sidang pleno MK, Senin (22/02), dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon.
Saksi Pemohon, Achmad Sanusi, menyatakan bahwa pemrosesan pencadangan wilayah terkait pertambangan mineral dan batu bara, cukup rumit. Banyak waktu, tenaga, dan biaya yang harus dilibatkan.
"Kami mohon agar ketentuan (UU a quo) dapat dilaksanakan dengan baik sehingga tidak satupun pihak yang merasa dirugikan entah itu dari pemerintah, Departemen ESDM, pemerintah daerah, gubernur, kabupaten, dan dengan sendirinya pihak investor atau Pemohon pun juga akan tertolong," kata Achmad Sanusi dalam perkara Nomor 121/PUU-VII/2009 ini.
Selanjutnya, Ahli Pemohon, Philipus M. Hadjon, memberikan keterangan bahwa isu sentralnya ialah konstitusionalitas Pasal 172 UU Minerba, sehingga pertanyaan hukumnya apakah ketentuan Pasal a quo bertentangan atau tidak, dengan ketentuan UUD 1945.
Pasal 172 menyatakan "Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini."
Untuk itu, Hadjon berpendapat bahwa pemerintah atau yang berwenang di dalam menerbitkan izin usaha pertambangan harus diberi batas waktu yang jelas untuk menyelesaikan proses perizinan. "Bisa mengabulkan bisa menolak, tetapi harus diselesaikan supaya ada kepastian hukum. Ini saya lihat memang dari teknis perumusan Pasal 172 ini memang menyulitkan penerapannya, dan di sisi lain merugikan masyarakat Pemohon," ujarnya. (RN Bayu Aji)