KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mendukung usul anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jimly Asshiddiqie yang memandang perlu dilakukan marger sejumlah lembaga hukum karena tidak efektif.
"Saya setuju. Terlalu banyak lembaga penyidik, lebih dari 40 lembaga. Ditjen Pajak punya penyidik, Polri juga punya, KPK punya. Kementerian Luar Negeri juga punya, Angkatan Laut juga punya, PNS juga punya," kata Mahfud saat ditemui di ruang kerjanya, Gedung MK, Jakarta kemarin.
Saat ini saja, kata dia, ada lagi lembaga-lembaga penyidik baru yang tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan lembaga lain, sehingga tidak efektif. Bahkan, memunculkan konflik kewenangan antarlembaga. "Institusi yang sebenarnya sudah bekerja karena ada lembaga lain yang menghadang, akibatnya konflik pun terjadi. Saya setuju usul Pak Jimly, harus dicarikan solusi," katanya.
Mahfud menyarankan agar semua pimpinan lembaga hukum melakukan pertemuan guna menyatukan persepsi dan pandangan untuk merealisasikan tujuan tersebut. "Memang perlu bertemu, tukar pandangan antara ahli hukum, pimpinan kepolisian, Kejagung, Mahkamah Agung, MK, atau Dewan Pertimbangan Presiden bidang hukum. Perlu bicara secara ilmiah. Saya setuju usulan Pak Jimly," katanya.
Dia menilai, usulan tersebut harus dilaksanakan karena setelah 10 tahun reformasi, keberadaan lembaga-lembaga formal belum dapat dipercayai. Karena itu, lanjutnya, dibentuklah komisi-komisi negara untuk menutup kelemahan lembaga-lembaga formal. Namun, sekarang sudah 10 tahun, kita menyadari pembentukan lembaga-lembaga yang banyak itu ternyata tidak menolong karena isinya sama saja. Orang-orang dulu lagi. Lalu tidak ada pembaruan juga," ungkap Mahfud.
Jimly sebelumnya mengusulkan agar perlu merger lembaga hukum. Menurut dia, saat ini ada 55 instansi yang mempunyai fungsi penyidikan sehingga dinilainya tidak efektif. Mantan Ketua MK itu menilai, marger adalah usaha untuk menata kembali sistem lembaga negara. Dalam mendorong efektivitas penegakan hukum, Jimly memandang upaya marger juga perlu dilakukan di lembaga pengadilan yang saat ini ada sembilan pengadilan khusus. Dia mencontohkan pengadilan tata usaha negara. Berdasarkan UU Peradilan Tata Usaha Negara yang baru, eksekusi putusan harus dilaksanakan oleh pejabat tata usaha negara.
"Namun Presiden dapat memberikan perintah untuk melaksanakna putusan pengadilan tata usaha negara," katanya.
M. Yamin Panca Setia, Jurnal Nasional