Penggunaan e-voting bisa dijadikan solusi untuk mengatasi masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) baik legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini disampaikan Pemohon, I Gede Winasa, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Senin (22/2), di Gedung MK. Sidang perkara Nomor 147/PUU-VII/2009 ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, Saksi, dan Ahli.
Winasa juga menilai bahwa penggunaan e-voting bisa menghemat biaya cukup besar yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah. Hal senada diungkapkan juga oleh Ahli Pemohon, Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Umar S. Bakry, yang mengungkapkan bahwa pemilihan dengan metode tradisional, seperti mencoblos atau mencontreng, lebih banyak mengeluarkan biaya. Hal ini, lanjut Umar, dikarenakan harus menggunakan tenaga penggudangan surat suara, pelipat surat suara, hingga tenaga penghitung surat suara.
"Pemilihan dengan metode tradisonal bisa menghabiskan biaya hingga Rp 12 Miliar, sementara dengan e-voting hanya menghabiskan dana Rp 3 Miliar. Jadi, penghematan yang bisa dilakukan cukup signifikan," katanya.
Selain itu, menurut Umar, penggunaan e-voting dapat mengurangi permasalahan yang kerap muncul dalam pemilu, seperti menghindari pemilih gadungan, pemilu ulang, serta surat suara yang cacat. "E-voting juga membantu masyarakat yang mengalami buta aksara dalam memilih. Pemilih buta aksara cukup memilih gambar yang terpampang di layar monitor," tukasnya.
Keabsahan e-voting sama dengan mencoblos
Ditinjau dari sisi keabsahan suara dalam pemilihan dengan menggunakan e-voting, Edmond Makarim berpendapat tergantung pada alasan dan tujuannya. Menurut Edmond, memilih dengan menyentuh layar sepanjang tujuan dan alasannya sama dengan mencoblos atau mencontreng, maka keabsahannya sama. "Secara functional equivalent approach, seperti yang tertera dalam Pasal 5 UU ITE, informasi elektronik bernilai jika memenuhi syarat dapat diakses, dapat ditampilkan, dan dijamin keutuhannya. E-voting memenuhi syarat itu semua," ujarnya.
Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin menyatakan sejalan dengan pemikiran Pemohon tentang e-voting. Menurut Qomaruddin, Pemerintah juga dalam proses mencari cara penandaan memilih yang lebih efektif dan efisien. "Akan tetapi, Pemohon juga harus memperhatikan daerah-daerah yang tepat dan siap untuk mengaplikasikan sistem e-voting ini," jelasnya.
Perkara ini diajukan oleh para Pemohon, yakni Prof. Dr. Drg. I Gede Winasa, I Komang Suarna, Syahrudin, Awamil Birri, I Putu Ariasa Ariasa Wirawan, I Gusti Putu Sumberdana, I Ketut Suerka, I Wayan Suryadita, I Nengah Budi Asnawan, I Ketut Tamba, Bahrullah, Putu Murdana, I Wayan Mandiyasa, I Nyoman Sumadana, I Made Suitra, I Gede Gunada Wirawan, I Made Merta Yasa, I Made Arya, I Gusti Ngurah Wardaya, I Ketut Sujana, dan Khaled Akhmad. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 atau Ketentuan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 telah menjadi "pasal mati". Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa penggunaan sistem e-voting dalam penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Jembrana Tahun 2010 sejalan dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2). (Lulu A.)