Jakarta, MKOnline - Sejumlah hakim dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Yogyakarta Kamis (18/2) siang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kunjungan tersebut diterima langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang sebelumnya juga adalah Wakil Ketua PTA Yogyakarta.
“Secara tidak langsung saya juga punya ikatan dengan kota Yogyakarta. Karena saya pernah mengikuti Pendidikan Hakim Islam (PHI), juga kuliah di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,” ujar Mahfud.
Ketua PTA Yogyakarta, M. Hasan H. Muhammad langsung mengutarakan tujuan utamanya rombongan PTA Yogyakarta mengunjungi MK. Di antaranya, para hakim dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung tersebut ingin mendalami lebih jauh seputar wewenang dan kewajiban MK, proses berperkara di MK serta hal-hal lain yang berguna bagi kepentingan masyarakat dan bangsa.
Dalam kesempatan itu Mahfud menjelaskan sekilas pembentukan dan latar belakang didirikannya MK, yang disebabkan dari persoalan hukum dan politik. Dikatakan Mahfud, pada masa orde baru banyak undang-undang yang dibuat secara sepihak tanpa bisa dipersoalkan, dilakukan uji materi maupun diubah. “Kalau mau mengubah undang-undang harus melalui legislative review, dilakukan oleh Presiden bersama DPR,” ungkapnya.
Namun, lanjut Mahfud, setelah masa reformasi muncul gagasan harus ada perimbangan, agar pembuat UU tidak sewenang-wenang. Caranya dengan melakukan amandemen UUD 1945, serta memunculkan wewenang baru untuk membatalkan undang-undang. Pengujian UU kala itu dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), seperti halnya dilakukan oleh Amerika Serikat.
“Saat itulah muncul ide membuat Mahkamah Konstitusi, seperti dimiliki Afrika Selatan, Jerman. Indonesia akhirnya mendirikan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003,” jelas Mahfud.
Dengan demikian, kata Mahfud, latar belakang perlu dibentuknya MK sepenuhnya karena alasan politis. Maksudnya, agar lembaga politik maupun individu tidak sewenang-wenang memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden di masa jabatannya. Seperti diketahui, empat Presiden RI dilengserkan karena alasan politis.
Namun, setelah MK berdiri tahun 2003, situasi kondisi seperti itu tidak terjadi lagi. Pemakzulan Presiden harus melalui proses yudisial di MK, yang awalnya meminta pendapat dari DPR. Dengan demikian, wewenang MK hanya sampai memutus pendapat DPR, mengenai benar atau tidaknya Presiden melakukan pengkhianatan, perbuatan tercela, dan sebagainya.
“Selain itu, MK juga memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa antara lembaga negara, membubarkan partai politik dan memutuskan sengketa hasil pemilihan umum maupun pemilukada,” tandas Mahfud. (Nano Tresna A.)