Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan Uji Materi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di ruang sidang pleno MK, Rabu (17/02). Agenda sidang perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 kali ini mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Saksi, dan Ahli.
Dewan Dakwah Islamiyah sebagai Pihak Terkait dalam persidangan menyatakan bahwa UU PNPS ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Setiap agama pasti tidak akan rela dinodai oleh orang lain ataupun agama lain. Mereka pasti akan mereaksi dengan cepat. Ajaran agama memberikan petunjuk yang benar," kata Azam.
Menurut Azam, UU PNPS ini penting untuk mencegah tindakan anarkis. Pokok-pokok agama harus dilindungi negara agar stabilitas terjaga. "Hal ini menghindari agar di negara ini tidak terjadi arena tinju bebas tanpa aturan dan pertarungan itu akan terhenti setelah ada yang mati. Upaya untuk membatalkan UU PNPS ini lebih buruk daripada orde baru," tuturnya.
Selanjutnya, Pihak Terkait dari Komnas HAM memberikan keterangan bahwa negara memiliki tanggung jawab atas kebebasan beragama karena hal itu diamanatkan dalam UUD 1945. "Hak itu tidak boleh dicabut oleh siapapun. Kebebasan beragam memiliki status yang tinggi dalam HAM," kata Ifdhal Kasim. Ifdhal Kasim melanjutkan bahwa terkait kebesan itu ada dua aspek. Pertama, aspek internal yang tak boleh diintervensi yakni kebebasan tiap individu untuk memilih, meyakini, dan berfikir. Kedua, aspek eksternal yakni mekanisme pengekspresiannya melalui dakwah, pendidikan, mewariskannya kepada keluarga, dan sarana yang lainnya.
Namun menurutnya, meski demikian ada pembatasan menyangkut keamanan, ketertiban, dan moral masyarakat. Alat ukurnya harus melalui mekanisme hukum. "Hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab pemerintah antara lain pemenuhan HAM yang meliputi mekanisme aturan yang jelas, perlindungan hak warga negara, dan keaktifan memproteksi aturan yang berlaku," terang Ifdhal Kasim.
Ahli dari Pemohon, Luthfi Assyaukanie menyatakan UU PNPS memiliki beberapa permasalahan terkait kebebasan beragama. "Menurut Karl Popper, negara merupakan kejahatan dan berlipat ganda tatkala memenjarakan masyarakatnya karena permasalahan perbedaan agama. Negara terlihat terlalu banyak hal yang diurusi sampai agamapun dicampuri. Negara tidak boleh mencampuri agama," tuturnya.
Ia memberikan ilustrasi kalau ajaran agama itu penuh dengan tafsir sehingga banyak aliran dalam realitanya. Sebagai contoh adalah aliran Muktazilah. Banyak sekali ulama-ulama yang dipenjarakan saat itu karena tidak sesuai dengan tafsir agama versi negara yang dikuasai aliran Muktazilah. "Muktazilah memilik majelis ulama seperti MUI kalau di Indonesia. Imam Hambali, imam madzab yang dipegang mayoritas oleh kaum Sunni, pernah dirantai kemudian dimasukkan penjara. Di sisi lain setelah kekuasaan Muktazilah runtuh dan kelompok Sunni berkuasa, maka Sunni membalasnya dan banyak memenjarakan ulama Muktazilah," ceritanya. Menurut Luthfi, ini semua terkait dengan kekuasaan. "Artinya, mereka yang dekat dengan kekuasaan maka selamat dan yang tidak dekat, jadi sial nasibnya," pungkasnya.
Sementara itu Majelis Sidang Pleno memberikan tanggapan bahwa apakah negara Indonesia tidak boleh memiliki campur tangan dalam agama. Di Barat memang agama bisa dianggap racun dan sekolah bahkan melarang adanya ajaran agama karena tidak boleh mempengaruhi dalam pendekatan agama.
"Tetapi melihat sejarahnya, Indonesia sejak awal didirikan berdasarkan Pancasila di mana negara dapat turut campur dalam masalah agama. Buktinya, Indonesia mewajibkan pelajaran agama di sekolah," terang Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
Menaggapi hal tersebut, Luthfi menerangkan bahwa hubungan agama dan negara kompleks. "Indonesia memang unik. Garis tegas negara dan agama adalah negara harus menindak kelompok-kelompok yang membuat keonaran dan kekerasan atas nama agama. UU PNPS ini selain diskriminatif, juga seringkali digunakan legitimasi dalam melakukan kekerasan," jawabnya. (RN Bayu Aji)