Dipicu Kasus Bank Century, MK Uji Hak Angket DPR
Kamis, 18 Februari 2010
| 13:29 WIB
Tampak di layar, simpatisan Presiden SBY, Bambang Supriyanto, sedang membacakan permohonannya untuk menguji aturan tentang Hak Angket, Senin (15/2), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Prana Patrayoga Adiputra)
Mahkamah Konstitusi (MK) menguji norma yang mengatur hak angket DPR, Senin (15/02). Dipicu adanya Panitia Khusus skandal Bank Century, simpatisan Presiden SBY yang diwakili Bambang Supriyanto dkk. memohonkan pengujian Pasal 77 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan a quo menyatakan "Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR utuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan". Menurut Bambang, pasal di atas bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2), Pasal 7, Pasal 20A Ayat (1) dan (2), Pasal 22E Ayat (1) dan (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1) dan (2), dan Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945.
Bambang beralasan, diterapkannya UU a quo bertentangan dengan konstitusi karena Panitia Angket kasus Bank Century dilaksanakan DPR periode 2009-2014 terhadap pemerintah periode 2004-2009. Menurutnya, hak angket hanya bisa ditujukan kepada pemerintah yang masa jabatannya sama dengan periode anggota DPR yang memiliki hak angket tersebut.
Alasan lainnya, Pemohon dengan perkara Nomor 7/PUU-VIII/2010 ini juga memandang Pansus Angket dalam melaksanakan haknya telah melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti saksi yang dipanggil dianggap tidak mendapat kepastian hukum yang adil, direndahkan kehormatan, martabat, dan derajatnya. Dicontohkan, Wapres Boediono diperlakukan semena-mena, padahal dia ialah simbol negara. "DPR dalam pasal ini diberi kewenangan sangat luas untuk memanggil siapapun untuk dimintai keterangan. Kami meminta agar ada batasan di dalamnya dengan cara hak angket tersebut hanya berlaku terhadap pemerintahan yang masa jabatannya sama dengan periode anggota DPR RI," pinta Bambang yang terlihat juga didampingi tiga pemohon lainnya, yakni Aryanti Artisari, Jose Dima Satria, dan Aristya Agung Setiawan. Hakim Akil Mochtar yang mengetuai Sidang Panel tersebut menasehati Pemohon agar lebih terarah dalam konstruksi permohonannya. "Konstruksi permohonan harus sebagaimana yang diajukan ke MK. Harus disebutkan kewenangan Mahkamah, agar permohonan tidak sia-sia. Juga, harus dijelaskan legal standing Saudara. Lalu, tolong materi yang bertentangan dengan UUD diuraikan," kata Akil. "Kualifikasi saudara sebagai perorangan simpatisan SBY dengan hak angket ini dirugikan apanya? Bagaimana konstruksi kerugiannya? Tolong dijelaskan," tambah Ahmad Fadlil Sumadi. Sementara itu, Hakim Harjono meminta agar Pemohon lebih serius mencermati putusan-putusan MK sebelumnya. "Silahkan mempelajari pertimbangan hukum dalam setiap putusan MK. Dua hal yang penting di dalamnya adalah legal standing dan kewenangan MK. Sebab, permohonan Saudara masih sangat kabur atas dua hal itu," nasehat Harjono. Uji UU Hak Angket
Di tempat dan Pemohon serta susunan Majelis Panel Hakim yang sama, MK juga menguji perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 tentang uji UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Pemohon, Bambang Supriyanto beralasan UU a quo dianggap inkonsisten mengenai dasar hukum pelaksanaan angket, yakni adanya pluralisme aturan antara UU Hak Angket Tahun 1954 dan UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Menurut Pemohon, UU Hak Angket Tahun 1954 dibuat berdasarkan UUDS 1950, sementara UU 27/2009 dianggap produk sistem pemerintahan presidensiil yang memandang parlemen tidak dapat secara langsung menjatuhkan Presiden. "Dalam pemikiran sederhana kami, dengan adanya undang-undang ini, pelaksanaan Hak Angket di DPR ternyata dijalankan dengan tidak benar," ujar Bambang. Dalam persidangan, Fadlil Sumadi meminta paparan filosofis Pemohon dijabarkan juga secara normatif. Kemudian, Harjono mengingatkan Pemohon agar dalam setiap pencarian dasar hukum, selalu ada kaitannya dengan UU Hak Angket yang diujikan. Ketua Hakim Panel, Akil Mochtar, pun tidak lupa menegur Pemohon agar tidak menyederhanakan permohonan yang disampaikan. "Satu kalimat dalam UUD bisa membuat Hakim Konstitusi berdebat dua sampai tiga jam, Bapak enak saja menghilangkan kalimatnya. Permohonan harus mengacu prosedur permohonan perkara di MK," pinta Akil. Ketua Panel menambahkan, kerugian yang dimohonkan Pemohon harus tetap kerugian konstitusional, bukan kerugian akibat implementasi undang-undang sebagaimana terurai dalam permohonan pengujian undang-undang ini. (Yazid)