Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) mengandung makna konstitusional jika memenuhi syarat yang ditentukan. Apabila tidak dipenuhi, maka pasal tersebut inkonstitusional. Demikian pernyataan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Senin (15/2), di Gedung MK. Perkara Nomor 1/PUU-VII/2010 ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKAM).
Hamdan meminta agar Pemohon merumuskan kembali permohonannya terutama berkaitan dengan petitum butir 5 mengenai konstitusional bersyarat. "Tak hanya itu, Pemohon harus memperhatikan petitum butir 3, 4, dan 5. Dalam petitum tersebut, Pemohon hanya meminta agar Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak dinyatakan bertentangan. Padahal seharusnya Pemohon juga meminta agar pasal a quo tidak mengikat secara hukum," jelas Hamdan.
Ketua Majelis Hakim Panel M. Arsyad Sanusi menegaskan kembali agar Pemohon memperhatikan alasan-alasan memohonkan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). "Jelaskan alasan anda meminta pasal a quo konstitusional bersyarat. Lalu, jelaskan pula makna bersyaratnya apa? Untuk itu Pemohon dipersilakan melakukan perbaikan melalui renvooi hingga pukul 17.00 WIB hari ini," tegas Arsyad.
Pemohon mendalilkan bahwa enam pasal dalam UU Nomor 3/1997, yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. "Pemohon merasa hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) telah dilanggar dengan adanya pasal a quo," jelas Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon.
Pemohon menilai Pasal 1 butir 2 huruf b sepanjang frasa "maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan" bertentangan dengan UUD 1945 karena menjadi dasar kriminalisasi anak dan mengakibatkan anak-anak dapat diajukan ke Sidang Anak yang selanjutnya dapat dijatuhi pidana.
Selain itu, para Pemohon juga mempermasalahkan mengenai batasan umur anak bisa dijerat pasal UU PA tersebut. Menurut Joni, Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa "belum mencapai umur 8 (delapan) tahun" bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena usia itu dinilai terlalu rendah untuk dihadapkan pada proses hukum oleh Penyidik.
Sementara itu, hukuman pidana bagi anak nakal seperti yang diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya, anak nakal lebih tepat dan lebih baik dikenakan pembinaan dengan menjatuhkan tindakan sebagai upaya perbaikan, bukannya penghukuman atau pemidanaan. Pemidanaan dinilai menimbulkan dampak traumatik yang berkepanjangan terhadap anak yang berpengaruh pada proses perkembangan kejiwaan anak, apalagi mengingat status eks-narapidana yang nantinya akan disandangnya setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lulu A.)