formatnews - Jakarta, 17/2 : Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama agar menggunakan perspektif keindonesiaan.
"Saya mohon menggunakan perspektif ke-Indonesia-an," kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut.
Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke-Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat.
Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama.
Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri.
Hal tersebut, menurut Achmad, sejalan dengan perspektif Barat yang membolehkan seseorang untuk memilih untuk mempercayai salah satu agama tertentu atau tidak mempercayai agama sama sekali.
Penerapan kebebasan beragama di AS, kata dia, bisa dinilai tidak sejalan dengan Indonesia yang terdapat kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air.
Sementara itu, hakim konstitusi lainnya Muhammad Alim mempertanyakan apakah uji materi UU Penodaan Agama ini menghendaki agar Indonesia lebih kepada asas teosentrik (semua hal berpusat pada Illahi) atau asas antroposentrik (semua hal berpusat pada manusia).
Alim mengingatkan, bagian Mukadimah atau pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia antara lain berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pemohon uji materi UU Penodaan Agama antara lain terdiri dari tujuh LSM yakni Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Para pemohon menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945. *ant*
FORMATNEWS
Rabu, 17 Februari 2010 | 16:05:04