JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terpengaruh dengan unjukrasa terkait "gugatan" Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama. "Kami tidak peduli dengan dukungan atau banyaknya yang protes. MK bekerja sesuai dengan hukum, jadi tak ada gunanya demo," tegas Mahfud MD, kemarin, di Jakarta. Ia menegaskan, hakim MK memiliki ukuran-ukuran sendiri dalam memutus sesuatu. "Ukuran konstitusi, bukan demo. Masyarakat tidak bisa menekan MK dengan demo-demo, dengan surat atau hal lainnya, karena itu semua tidak ada gunanya," ujarnya seraya meminta masyarakat sabar menunggu putusan MK mengenai gugatan UU No 1 tahun 1965 itu. Menurut Mahfud, setiap warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh sebuah undang-undang ber-hak menggugat. MK sendiri disebutkan serius meme-riksa perkara itu dengan melibatkan 60 ahli. "MK mengundang 31 ahli, Departemen Agama/ pemerintah mengajukan 19 ahli, sedangkan dari pemohon 9 ahli. Kami membahas dan menelaah UU Penodaan Agama sedalam-dalamnya," katanya. Pada sidang sebelumnya, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menilai UU Penodaan Agama melanggar asas kebebasan beragama dan konstitusi. Sebab, negara tidak berhak untuk mengatur seseorang dalam memilih agama mana pun. "Kebebasan beragama jelas dilindungi dan diatur dalam UUD 1945," kata anggota KWI, Benny Susetyo, dalam keterangannya. "Pancasila menjamin setiap warga negara untuk memilih dan tidak memilih agama sekali pun," kata Benny. Karena itu, ketentuan UU No 1 tahun 1965 tidak sesuai dengan keyakinan dan cenderung mengkriminalisasikan ajaran yang menyimpang. Ia mengatakan pada saat undang-undang tersebut dibuat, Indonesia mengalami perubahan sosial. "Saat ini undang-undang tersebut telah dijadikan sebagai alat pembenaran atas penodaan agama. Bahkan digunakan untuk mendiskreditkan sekelompok agama," ujarnya. KWI berpendapat kebebasan beragama merupakan hak mutlak setiap individu. Pelarangan terhadap kebebasan bergama merupakan suatu bentuk diskriminasi. Alasannya, Indonesia bukan suatu negara agama sehingga tidak dapat melakukan intervensi. Gugatan atas keberadaan UU Penodaan Agama diajukan oleh perseorangan dan beberapa lembaga. Mereka adalah almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Sementara lembaga terdiri dari Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI. (Wilmar P)Jumat, 12 Februari 2010