UJI UU PNPS: Dari Moderasi Hingga Soal âBerbedaâ dan âMenyimpangâ
Kamis, 11 Februari 2010
| 12:25 WIB
Saksi Korban Arswendo Atmowiloto (kiri) bercanda dengan Prof. Franz Magnis Suseno sebelum dimulainya sidang uji UU Penodaan Agama, Rabu (10/2), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Gani)
Negara menjamin kemerdekaan beragama dan berhak mendapatkan perlindungan untuk beragama dan beribadah sesuai kepercayaan yang dianut oleh masing-masing orang. Latar belakang pembentukan UU 1/1965 dilatarbelakangi susana politik pemberontakan dengan motif agama seperti yang dilakukan oleh Daud Birueh dari Aceh yang akan mengancam persatuan dan kesatuan. Hal itu terdapat dalam konsideran UU tersebut.
Demikian diungkapkan Benny Susetyo mewakili Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) saat memberikan keterangan dalam persidangan uji materi UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di ruang sidang pleno MK, Rabu (10/02). Agenda sidang perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 kali ini mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Saksi, dan Ahli. "UU PNPS saat ini sudah tidak sesuai dengan dinamika masyarakat karena hukum berjalan dinamis sesuai perkembangan masyarakat. UU ini cenderung digunakan untuk mencederai agama lain dan bukan untuk melindungi agama yang dianggap minoritas," tutur Benny dalam ruang sidang. Benny lebih lanjut menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila untuk menjamin keberagaman. Ia mencontohkan Bung Hatta dalam sidang konstituante memberikan andil besar untuk memisahkan negara dan agama sehingga Piagam Jakarta diganti dengan Pancasila dan Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. "Oleh sebab itu negara tidak boleh mengintervensi dan menjadi penafsir tunggal atas agama. Negara tidak boleh menentukan atas agama mayoritas dan minoritas maupun agama yang sah dan tidak sah. Hak beragama yang dilindungi konstitusi tidak bisa dikurangi. Negara juga tidak boleh mengintervensi apakah harus menganut agama maupun tidak," terangnya.
Dalam persidangan ini hadir pula saksi korban yakni Arswendo Atmowiloto yang 20 tahun yang lalu terkena dakwaan pasal penodaan agama. Mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor itu menuturkan, pasal itu telah membuat dirinya menjadi tersangka dan dipenjara selama lima tahun. Saat itu, lanjut dia, Monitor membuat polling pembaca tentang siapa tokoh yang paling dikagumi.
"Hasil polling ternyata menjadi masalah karena Nabi Muhammad mendapatkan nomor urut 11. Tanpa diduga, urutan pertama justru Presiden Soeharto, kedua Soekarno, dan saya nomor ke-10. Meski demikian, saya telah meminta maaf melalui media yakni TVRI dan Kompas dan menjalani hukuman," ceritanya. Ada Atau Tak Ada UU PNPS, Tak Ada Jaminan Sementara itu, Uung Cendana dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) menerangkan bahwa umat Konghucu concern terhadap keadilan. Kesetaraan hak sipil untuk beragama harus mendapatkan perlindungan yang sama dari negara. Hal itu tidak terkecuali apakah itu agama yang pengikutnya banyak atau sedikit. "Jangan pula ada istilah agama resmi dan tak resmi. Kami (umat konghucu, red) pernah juga mengalami pendiskriminasian dalam masalah keberagamaan. Semua ketidakadilan masalah agama harus dihapuskan. Kebebasan tak terbatas mengakibatkan penekanan, begitu juga kebebasan beragama tidak bisa pula dibatasi," kata Cendana. Namun demikian, pendidikan yang terbuka mengenai agama harus ditekankan tuturnya dalam persidangan. Ada ataupun tidak ada UU PNPS tidak menjamin ketiadaan kekerasan terhadap agama dan atas nama agama. "Ada UU PNPS, juga tetap terjadi kekerasan," tambahnya.
Moderasi
Hasyim Muzadi selaku Ahli dari Pemerintah menjelaskan bahwa pemahaman mengenai kebebasan agama tidak bisa disangkutkan dengan UU PNPS. Ia mengemukakan kalau UU PNPS juga tidak menghalangi agama baru. UU PNPS ini diperlukan saat ini. Pentingnya UU ini menurut Kiai dari Jawa Timur ini, pertama agar tidak terjadi instabilitas negara. Kedua, untuk saling menghormati dan menumbuhkan kerukunan antar umat beragama. Ketiga, apabila dicabut maka justru merugikan yang minoritas.
"Kalau tidak ada UU PNPS maka yang terjadi adalah kelompok mayoritas bisa mereaksi dengan aturannya sendiri tanpa bisa dicegah karena tak ada aturan. Penistaan dan penodaan itu berbeda dengan kebebasan. Penistaan cenderung agresif dan menyerang," terangnya. Jadi saat ini, tuturnya, semua umat beragama harus menekankan koeksistensi yakni eksis dalam agamanya masing-masing dengan segala keyakinan dan kepercayaannya. Kemudian dilanjutkan dengan multieksistensi yaitu memahami batas-batas kewajaran dan menghormati serta menghargai yang lainnya. Begitu juga dengan negara tidak boleh mencampuri masalah teologi sebuah agama. "Tugas negara adalah menciptakan kenyamanan dan menjaga kenyamanan maupun kerukunan umat beragama. Inilah moderasi yang harus ditekankan di Indonesia," tegasnya.
Pelekatan Penyimpangan
Sedangkan Franz Magnis Suseno selaku ahli Pemohon memberikan keterangan bahwa arti penyimpangan yang dilekatkan kapada sekte atau aliran dalam agama bersifat negatif. Istilah penyimpangan cenderung dilekatkan oleh mereka yang merasa benar.
"Bagi saya istilah yang lebih tepat adalah berbeda. Hal itu lebih netral dan tidak menunjukkan penghakiman," terangnya.
Penilaian itu menurut Franz hanya ada serta berdasarkan satu pihak yang belum tentu juga mewakili kebenaran yang diinginkan oleh nilai agama dan benar menurut Tuhan. Oleh sebab itu, negara hendaknya juga jangan turut menghukumi. Situasi keberagaman di Indonesia harus diperhatikan baik secara historis dan sosiologis. (RN Bayu Aji)