Kamis, 11 Februari 2010 00:17 WIB
Penulis : Dinny Mutiah
JAKARTA-MI: Persidangan Mahkamah Konstitusi yang menyidangkan permohonan agar beberapa pasal dalam UU No 1/pnps/1965 menghadirkan Ketua PBNU Hasyim Muzadi di Jakarta, Rabu (10/2). Tampil dengan balutan batik, Hasyim dengan santai mengutarakan pendapatnya atas permohonan tersebut. Humor pun tak jarang dilontarkannya di sela-sela persidangan.
"Yang dilarang itu bukan kebebasan agama, tapi penodaan. Jadi, tidak relevan jika dikaitkan dengan masing-masing beragama. Penjelasan UU juga ada pada penjelasan pasal 1," ujar Hasyim membuka paparannya.
Ia berpendapat, UU tersebut tetap diperlukan hingga kini. Ia mengurai akan ada tiga ekses negatif jika pencabutan UU tersebut dilakukan. Yakni, menimbulkan instabilitas, mengganggu kerukunan umat beragama, dan merugikan kalangan minoritas.
"Saya kasihan yang paling rugi adalah minoritas. Kalau mayoritas, dia cukup menimbulkan reaksi. Tapi, tidak ada patokan hukumnya berakibat anarki. Tidak ada aturan, masyarakat akan bikin aturan sendiri," ujarnya.
Ia mengaku mengalami saat suram sebelum UU itu diundangkan pada tahun 1965. Saat itu, terang dia, agama mengalami penghujatan yang luar biasa, baik melalui media, budaya, politik ataupun saluran kekuasaan. Orang yang melakukan ibadah saat itu diserbu sedemikian rupa yang mengakibatkan kekacauan. Yang terjadi sekarang, sahut dia, diterapkan pada konteks sebaliknya, yakni semakin banyak orang yang beribadah tidak baik merambah Indonesia.
"Ada orang yang mengaku nabi, bahkan Malaikat Jibril. Setelah ditahan, dia menangis. Saya heran itu," ucapnya diiringi tawa hadirin.
Penghujatan, pembelokan ataupun penistaan agama, sahut dia, bukan bagian dari demokrasi, tapi adhesi moral atas keluhuran agama masing-masing. Ia menegaskan tidak pernah ada demokrasi yang tidak dibatasi sehingga ia meminta penyerangan terhadap agam tidak dimaknai sebagai kebalikannya.
"Konstitusi menjamin kebebasan beragama, tapi tidak bisa dikonfrontir dengan UU. UU itu memori bantu listing terhadap konstitusi. Kalau UU dicabut, tidak akan bisa menyurutkan reaksi yang merasa disinggung," sahutnya.
Kebebasan beragama, terang dia, bukan berarti melepas keyakinan yang sesungguhnya. Yang perlu dilakukan oleh masing-masing umat beragama adalah prinsip kehati-hatian dan mengenali hal yang peka bagi orang lain.
"Saya ini jadi pemadam kebakaran ketika ada peristiwa di Batu. Saat itu, ada penghinaan Alquran. Kalangan santri Pasuruan mau menyerbu ke Batu, tapi di tengah jalan saya cegat. Saya bilang jangan lakukan sendiri karena ada aturannya. Jika itu tidak ada, tidak ada lagi argumentasi saya untuk mengatasi itu," terangnya.
Ia tidak setuju dengan liberalisasi agama. Menurutnya, liberalisasi mengorbankan prinsip termasuk prinsip yang ada di ajaran agamanya sendiri. Sementara, ekstrimisme hanya ingin mengetahui haknya sendiri dan tidak memedulikan pihak di luar mereka. Yang paling tepat adalah menempatkan persoalan di tengah-tangah, yakni tetap berpegang pada prinsip tapi menghormati hal-hal yang peka bagi orang lain.
Penjelasan Hasyim memancing tanya di pihak pemohon. Beberapa kuasa hukum menanyakan penjelasan Pasal 1 UU 1/pnps/1965 secara bergantian. Hal ini membuat Ketua MK Mahfud MD berkomentar.
"Mereka itu dibiarkan. Itu sudah jelas. Jangan tanyakan hal itu pada kiai, tapi pada ahli hukum untuk mendalami pembiaran dan perlindungan itu," sergahnya menanggapi pertanyaan yang dinilainya beda konteks. (DM/OL-7)
Sumber www.mediaindonesia.com