Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Demikian sidang pengucapan putusan perkara 100/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (UU Pemilu), Selasa (9/2), di ruang sidang pleno MK.
Para Pemohon Ahmad Husaini, M. Sihombing Nababan, dan Aziz, mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 247 ayat (4) dan Pasal 253 ayat (1) UU Pemilu karena bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 247 ayat (4) UU 10/2008 menyatakan "Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu". Menurut Pemohon, pembatasan tenggat waktu pelaporan selama tiga hari terlalu singkat dan mustahil bagi para Pemohon mendapatkan bukti-bukti pendukung laporannya.
Kemudian Pasal 253 ayat (1) UU 10/2008 menyatakan, "Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota". Khususnya pasal a quo sepanjang frasa, "…dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota", dianggap telah merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum karena menyebabkan penyelesaian sengketa Pemilu menjadi tidak efisien, dan pemberian kewenangan kepada Bawaslu/Panwaslu untuk melakukan penilaian terhadap sebuah laporan Pemilu telah melebihi kewenangannya.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 247 ayat (4) UU Pemilu tidak memberikan pengecualian dan tidak menghambat hak konstitusional para Pemohon untuk berpartisipasi dalam politik. Hak para Pemohon tidak terhalangi dengan ketentuan pasal a quo, mengingat Pasal 247 ayat (4) UU Pemilu mengatur tentang tata cara laporan terjadinya pelanggaran Pemilu kepada Bawaslu/Panwaslu.
Adapun mengenai tenggang waktu tiga hari bagi para Pemohon untuk menyampaikan laporan adalah berkenaan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu yang telah diatur secara limitatif menurut Undang-Undang a quo, yang secara langsung berkaitan dengan agenda ketatanegaraan. Tenggang waktu tiga hari berlaku pula bagi Bawaslu/Panwaslu untuk menentukan laporan tersebut terbukti kebenarannya dan ditindaklanjuti apakah laporan tersebut bersifat administratif atau tindak pidana Pemilu.
Sedangkan mengenai dalil Pemohon pada Pasal 253 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah berpendapat bahwa pembentuk Undang-Undang sesuai dengan kewenangannya telah menentukan mekanisme dan pihak-pihak yang berwenang menyelesaikan pelanggaran Pemilu, baik pelanggaran yang bersifat administratif maupun yang bersifat pelanggaran tindak pidana Pemilu.
Mahkamah juga berpendapat Bawaslu/Panwaslu sebagai lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu yang berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan pelanggaran Pemilu, khususnya adanya dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu, secara yuridis dapat dibenarkan menyampaikan laporan pelanggaran Pemilu tersebut kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Laporan kepada Kepolisian tidak dapat dimaknai Bawaslu/Panwaslu mengambil alih atau melebihi kewenangan Kepolisian karena kewenangan Bawaslu/Panwaslu tersebut merupakan kewenangan untuk meneruskan laporan kepada penyidik yang diberikan oleh UU 10/2008.
Oleh karena itu, Mahkamah menilai tidak terdapat kerugian konstitusional dari para Pemohon baik yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi. "Amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD. (Nur Rosihin Ana)