Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 131/PU-VII/2009 menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Andreas Hugo pareira, H.R. Sunaryo, dan Hakim Sorimuda Pohan. Demikian amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Selasa (9/2), di Gedung MK.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menjelaskan Pemohon beralasan kerugian hak konstitusional para Pemohon tercermin dalam beberapa Putusan MK yang membatalkan pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, yaitu Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008; Putusan Nomor 22–24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008; Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal 13 Februari 2009; Putusan Nomor 32/PUU-VII/2009 tanggal 24 Februari 2009; Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009; Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 tanggal 30 Maret 2009; Putusan Nomor 74–79–80– 59–67/PHPU.C-VII/2009 tanggal 11 Juni 2009; Putusan Nomor 110–111–112–113/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009.
"Pemohon beralasan Undang-Undang a quo telah dipreteli, banyak yang dinyatakan inkonstitusional atau tidak mempunyai kekuatan hukum oleh MK dalam putusannya sehingga tidak lagi dapat dikatakan sebagai suatu Undang-Undang yang diamanatkan konstitusi seperti diatur dalam Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," jelas Sodiki.
Menurut para Pemohon, lanjut Sodiki, ketidakpastian hukum tersebut terjadi karena Undang-Undang a quo harus dijalankan lewat putusan-putusan MK. "Menurut para Pemohon kerugian hak konstitusional para Pemohon bukanlah diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang a quo, melainkan diakibatkan oleh adanya putusan MK yang menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar Sodiki.
Sodiki menjelaskan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Putusan MK menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak benar karena Putusan MK tersebut justru merupakan wujud dari tanggung jawab dan kewenangan MK untuk menjaga konstitusi sekaligus menjamin kepastian hukum yang adil. Itulah sebabnya, jelas Sodiki, beberapa pasal dari UU 10/2008 dibatalkan berlakunya oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Pasal-pasal dari UU 10/2008 yang tidak dibatalkan jauh lebih banyak, tetapi para Pemohon tidak mendalilkan di dalam positanya bahwa pasal-pasal tersebut merugikan hak konstitusional para Pemohon, sehingga permohonan untuk membatalkan pasal-pasal tersebut tidak berdasar dan tidak beralasan hukum," ujarnya.
Selain itu, jelas Sodiki, para Pemohon tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional, yakni (1) tidak adanya hubungan sebab akibat/kausalitas (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan (2) tidak adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. "Kerugian yang secara nyata diderita oleh para Pemohon merupakan hal yang tidak terhindarkan oleh adanya Putusan Mahkamah untuk melindungi hak-hak konstitusional orang lain dan demi kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam konstitusi," ujarnya.
Dalam konklusi, Mahfud menyatakan karena para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional sebagaimana yang disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, maka para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian Undang-Undang a quo. "Maka MK tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon," tandas Mahfud. (Lulu A.)