MK Sidangkan Kasus Pelarangan Buku
Kamis, 11 Februari 2010
| 09:04 WIB
Para Pemohon (dari kiri ke kanan) Darmawan, Fatahillah, dan Rahmat Bagja, sedang menerangkan isi permohonan uji UU Kejaksaan terkait larangan menerbitkan buku, Selasa (9/2), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Annisa Lestari)
Kebebasan untuk menulis harus dihargai. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dan menulis. Kalau ada yang tidak suka harus mendebat dan membalasnya dengan menulis buku. Jangan melarang mulut untuk bicara dan tangan untuk menulis. Demikian diungkapkan Darmawan selaku Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 6/PUU-VIII/2010 tentang uji materi Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (09/02). Darmawan menguji ketentuan a quo karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan lewat larangan terbit-edar bukunya yang berjudul "Enam Jalan Menuju Tuhan".
Pasal 30 ayat (3) huruf c UU Kejaksaan menyatakan "Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan."
"Pasal tersebut tidak mengenal adanya due process of law (persamaan di hadapan hukum red.). Pemohon mengetahui pelarangan bukunya justru melalui media massa dan bukan langsung dari kejaksaan. Dalil kejaksaan melarang barang cetakan yang isinya dianggap dapat mengganggu ketertiban umum bukanlah merupakan hukum yang adil," kata Rahmat Bagja selaku Kuasa Hukum Pemohon.
Pelarangan yang dilakukan oleh Kejaksaan, menurut Rahmat Bagja, merupakan bentuk pengekangan atas kebebasan mengeluarkan pendapat. "Hal itu membuat Pemohon bahkan orang lain merasa tidak lagi bebas mengeluarkan pendapat. Pemerintah melalui kejaksaan saat ini suka melakukan intervensi. Intinya seorang yang mengeluarkan pendapat dan akses masyarakat mendapatkan informasi dikekang oleh pemerintah," tegasnya. Dalam petitum permohonannya, Pemohon menginginkan MK menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (3) huruf c UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam nasehatnya, Majelis Panel Hakim menanyakan apakah fokus permohonan ini pada persoalan due process of law atau norma yang tercantum dalam UU Kejaksaan. "Pada dasarnya pembatasan seperti yang diungkapkan dalam permohonan adalah hal yang boleh-boleh saja," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menurut Hamdan, pelarangan kebebasan dalam berpendapat yang dialami Pemohon justru berdasarkan SK Kejaksaan Agung tentang pelarangan peredaran buku yang telah di "clearing house" terlebih dahulu. "Kalau berdasarkan SK Kejaksaan Agung, hal itu masuk wilayah PTUN bukan di MK," nasehatnya kepada Pemohon.
Lebih penting lagi tutur Hamdan, Pemohon harus bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara UU Kejaksaan dengan permasalahan pelarangan buku yang kewenangannya diberikan kepada kejaksaan. "Adalagi UU 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, itu juga dapat menjadi dasar pelarangan sebuah buku yang terindikasi menodai dan menistakan sebuah agama," tuturnya.
Majelis Sidang Panel MK memberikan waktu selama 14 hari kedepan untuk memperbaiki permohonan. (RN Bayu Aji)