MK Tetapkan Kriteria Kegentingan Memaksa dan Berwenang Uji Perppu
Rabu, 10 Februari 2010
| 14:24 WIB
Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, membagikan salinan putusan kepada Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait lainnya usai pembacaan putusan uji Perppu KPK, Senin (8/2), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Gani)
Pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal a quo dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, dalam putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang uji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (perppu KPK), Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 untuk mengeluarkan perppu, yang antara lain, (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Terkait wewenang MK menguji perppu, MK menguraikan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang". Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud adalah sebagai pengganti undang-undang. "Artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah undang-undang, tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perppu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti undang-undang," terang Akil Mochtar pada sidang pembacaan putusan yang digelar Senin (8/2).
Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR, lanjut Akil, maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
Perppu adalah ketentuan hukum yang sejak dikeluarkan telah berlaku dan mengikat seluruh warga negara termasuk di dalamnya adalah para Pemohon. "Sesuai dengan dalil yang disampaikan oleh para Pemohon a quo, perppu memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang," ucap Akil. Sehingga dengan demikian, Mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar", maka MK memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perppu. Meski MK menyatakan berwenang menguji perppu, namun terkait kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah memberikan penilaian bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang kuat dalam permohonannya karena Pemohon sebagai advokat tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh Perppu KPK yang mengatur mekanisme penggantian pimpinan KPK. "Jikapun Pemohon mengalami kerugian maka tidak pula terdapat kerugian yang spesifik," kata Akil Mochtar.
Untuk itu, dalam kesimpulannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pokok permohonan tidak dapat dipertimbangkan karena tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dalil dengan berlakunya Perppu KPK. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. (RN Bayu Aji)