Ahmad Fadlil Sumadi: MK Pelopori Peradilan Yang Efektif dan Efisien
Jumat, 05 Februari 2010
| 10:04 WIB
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadai saat memberikan ceramah kepada para dosen FH Univ. Pekalongan, Kamis (4/2).
Jakarta, MKOnline - Peradilan dikatakan efektif bila memenuhi dua hal utama. Pertama, adanya keseksamaan dan kewajaran dalam melaksanakan tugas. “Keseksamaan memerlukan waktu, kecakapan, kompetensi ataupun profesionalitas. Sedangkan kewajaran terkait dengan objektivitas sebuah keputusan,” demikian diungkap Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat memberi ceramah singkat kepada para dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan yang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/2) pagi.
Dikatakan Fadlil lagi, agar mekanisme peradilan berjalan efektif dituntut efisiensi dalam pelaksanaannya. Pengertian efisien adalah sederhana, tidak berbelit-belit, cepat, biaya ringan, terjangkau oleh sebagian besar rakyat. Bahkan untuk mereka yang berperkara di MK, tidak dipungut bayaran.
“Selain itu efektivitas peradilan terkait pula dengan masalah kecepatan. MK merupakan satu-satunya peradilan di Indonesia yang meski tidak ditarget tetapi ada kerangka waktu dalam penyelesaiannya. Misalnya untuk sidang sengketa pemilukada memakan waktu 14 hari, atau sidang sengketa Pileg bisa memakan waktu 30 hari. Termasuk juga para Pemohon, Pemerintah dan DPR mereka juga terikat dalam kerangka waktu untuk mengikuti sidang di MK,” jelas Hakim yang pernah menjadi wakil ketua Pengadilan Tinggi Agama di Yogyakarta ini.
Lebih lanjut Ahmad Fadlil Sumadi juga mengungkapkan, beberapa tahun yang silam di Indonesia konstitusi sebagai hukum tidak pernah ditegakkan secara hukum atau mekanisme yudisial. Yang terjadi saat itu adalah penegakan hukum dilakukan melalui proses politik.
“Keadaan itu menimbulkan kelucuan-kelucuan dan perasaan yang sangat tragis karena terjadi satu ketidakadilan. Katakanlah, bila ada Presiden RI yang secara politik tidak disukai banyak orang atau melalui suara mayoritas, kapan saja bisa dilengserkan,” imbuh Ahmad Fadlil.
Namun, setelah MK berdiri pada 2003, situasi kondisi seperti itu tidak terjadi lagi. Pemakzulan Presiden harus melalui proses yudisial di MK, yang awalnya meminta pendapat dari DPR. Dengan demikian, wewenang MK hanya sampai memutus pendapat DPR, mengenai benar atau tidaknya Presiden melakukan pengkhianatan, perbuatan tercela, dan sebagainya. (Nano Tresna A.)