Penodaan Agama: Antara Menjaga Kemurnian Ajaran, Mengatur Keharmonisan, dan Menolak Intervensi Negara
Jumat, 05 Februari 2010
| 09:08 WIB
LANGGAR TATA TERTIB SIDANG. Seorang pengunjung sidang dari anggota Laskar Pembela Islam melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib persidangan yaitu membaca koran, saat sidang uji UU Penodaan Agama sedang digelar dan mendengarkan keterangan Menteri Agama Suryadharma Ali, Kamis (4/1), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Gani)
Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di ruang sidang pleno MK, Kamis (04/02). Agenda sidang perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 kali ini mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait. Dalam persidangan, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali menyatakan bahwa pengajuan uji meteri UU ini tidak sesuai dengan UUD 1945. "UU 1/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau penodaan agama telah ditetapkan sebagai semangat pengaturan UUD 1945," katanya.
Pihak Pemerintah merasa bahwa meski UU ini diterbitkan dalam keadaan darurat, belum tentu semangat yang semena-mena terkandung di dalamnya. "UU ini dibutuhkan untuk keharmonisan semangat berbangsa dan bernegara. Jadi, aturan tentang penyalahgunaan tetap diperlukan untuk mengatur. Selain itu UU ini juga untuk menjaga ketenteraman dari kemungkinan penodaan dan penyalahgunaan dalam pemaksaaan agama," ujarnya.
Setelah mendengarkan keterangan ini, sekelompok ormas islam yang menghadiri persidanganan memekikkan takbir sehingga persidangan menjadi gaduh. Ketua Majelis Hakim Panel, Mahfud MD memperingatkan agar tidak berteriak dan membuat gaduh. "Kalau ada yang berteriak keluar dari ruang sidang ini," tegas Mahfud.
Selanjutnya, pihak DPR, Chairumam Harahap menyatakan bahwa UU ini meskipun produk dari Orde Lama, namun masih sesuai dengan UUD 1945. "Keberadaan aturan penodaan agama ini masih diperlukan dalam mencermati fenomena banyaknya aliran-aliran sesat. Beberapa kasus telah terjadi dan kita saksikan. Dari kasus tersebut ada yang menimbulkan protes oleh masyarakat. Dampaknya adalah terjadi perbuatan yang anarkis dan mengancam (kerukunan) antar umat agama dan kerukunan masyarakat, (serta kerukunan) antar umat beragama," ungkapnya. Sementara itu, pihak terkait yakni MUI memberikan keterangan bahwa kasus penyalahgunaan agama tidak boleh dibiarkan begitu saja karena akan menimbulkan keresahan umat. "Hal itu mengganggu mental dan spiritualitas karena bisa disesatkan," kata Amidhan.
Kasus Ahmadiyah, contoh Amidhan, merupakan bagian dari Islam dan itu diakui oleh Ahmadiyah sendiri. "Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam harusnya tunduk terhadap kaidah agama Islam. Kalau tidak, jangan mengaku beragama dan bagian dari Islam," katanya.
Keterangan senada juga diberikan oleh PP Muhammadiyah dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Dalam keterangannya, PP Muhammadiyah menyatakan bahwa pihaknya ikut serta dalam menjaga toleransi antar umat beragama, mencegah kerusakan, menjaga persaudaraan sehingga tatanan masyarakat menjadi sejahtera. Selain itu, PP Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya atas uji materi ini kepada MK untuk memutuskan yang terbaik dan adil bagi semua. Selanjutnya, PGI menyatakan bahwa ajaran kristen memiliki doktrin resmi dan mengikat bagi pemeluknya melalui keputusan sidang gereja untuk menjaga umat sesuai dengan Al-Kitab. "Penodaan dan penistaan terhadap agama tidaklah diperbolehkan. Barangkali sebelum melangkah jauh, hendaknya kita semua menguraikan apa arti dan batasan terhadap penodaan dan penistaan itu sendiri," ujat Pdt. Syamsuddin Rajab.
Namun demikian, Syamsuddin sekaligus mempertanyakan, apakah negara, dalam hal ini pemerintah, diperbolehkan dan berhak menjadi penafsir tunggal atas ajaran beragama. Di sisi lain, PGI sepakat apabila pemerintah menindak tegas pihak-pihak yang mendahulukan dan melakukan kekerasan fisik serta main hakim sendiri dalam kehidupan beragama.
PGI juga mengingatkan untuk saling mengkritisi UU ini karena fungsi dan isinya multitafsir. "Bisa jadi terjadi intervensi negara yang terlalu jauh terhadap agama terkait permasalahan penodaan dan penistaan terhadap agama yang harus kita uraikan terlebih dahulu pemahamannya," ungkapnya.
Agenda sidang selanjutnya adalah mendengarkan keterangan Pihak Terkait yang didatangkan oleh MK yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) pada Rabu (10/02). (RN Bayu Aji)