JAKARTA-MI: Mahkamah Konstitusi (MK) diminta berhati-hati dalam menangani dan memutus permohonan uji materi peraturan perundangan yang mengatur perkara penodaan agama.
"MK perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan, apalagi dalam kondisi belum ada pengganti undang-undang itu," kata Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Kamis (4/2), menanggapi sidang pertama perkara itu.
Peraturan perundangan tentang penodaan dan atau penistaan agama sebelumnya berbentuk Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 yang kemudian diundangkan melalui UU Nomor 5/1969.
UU itu dimohonkan uji materi oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di antaranya IMPARSIAL, ELSAM, PBHI, DEMOS, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI.
Menurut Slamet, keberadaan undang-undang itu sebagai bagian upaya untuk membuat tatanan sosial terjamin mengingat persoalan agama seringkali sensitif.
"Ketika agama yang oleh pemeluknya dinilai suci kemudian dinodai, jelas akan memancing emosi dan konflik," kata mantan ketua umum Gerakan Pemuda Ansor itu,
Dikatakannya, saat ini saja banyak aliran kepercayaan yang jelas-jelas merupakan penodaan terhadap agama yang sah karena sebagian atau seluruh ajaran atau praktik peribadatannya merupakan penyelewengan dari ajaran dan praktik ibadah agama yang sah.
Apalagi, lanjut kandidat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, jika tidak ada aturan yang membatasi.
"Mereka tentu akan dengan leluasa melakukan penodaan dengan dalih kebebasan beragama. Saya nggak ngerti, penodaan kok dianggap sebagai kebebasan beragama," katanya.
Yang tidak kalah penting, tambah Slamet, dalam UU yang diajukan uji materi itu ada aturan yang memberikan tugas kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan. Jika UU itu dicabut, maka otomatis tugas pengawasan pemerintah terhadap persoalan keagamaan turut tercabut.
"Artinya, masyarakat akan mengawasi sendiri. Ini bisa timbul anarkhi," katanya.
Menurutnya, kebebasan memeluk dan menjalankan agama yang dijamin UUD 1945 seharusnya dimaknai positif, yakni memeluk agama yang sah.
"UUD sendiri memberikan batasan bahwa kebebasan itu dibatasi oleh undang-undang, bukan bebas sebebas-bebasnya," kata mantan anggota DPR selama dua periode itu. (Ant/OL-7)
Jumat, 05 Februari 2010 06:46 WIB
MediaIndonesia.com