Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Rabu (3/2), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 3/PUU-VII/2010 ini diajukan oleh 14 pemohon, yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KARA), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Tiharom, Waun, Wartaka, Carya bin Darja, dan Kadma.
Para Pemohon melalui kuasa hukumnya Jansen E. Sihaloho, dkk, mendalilkan 18 pasal yang terdapat dalam UU No.27/2007, yakni Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 7, PAsal 1 angka 18, pasal 16 Ayat (1), Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23 Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6), srta Pasal 60 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Jansen, Pemohon menganggap Pasal 1 angka 4, 7, dan 18, Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena terdapat potensi tumpang tindih Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) dengan pemberian hak atau perijinan oleh instansi/sektor lain. "Jika objek HP-3 dicermati, maka terdapat kerancuan atau tumpang-tindih antara obyek HP-3 tersebut dengan objek perijinan di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata," jelas Jansen.
Tumpang-tindih objek tersebut, lanjut Jansen, di antaranya adalah: (1) antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan yaitu tentang pemanfaatan hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan pantai, dan penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut; (2) antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan pasir sebagai sumberdaya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3) antara HP-3 dengan perijinan bidang pariwisata yaitu pengembangan wisata pantai. Selain itu, Jansen menganggap pemberian HP-3 kepada pengusaha tidak terhalangi walaupun masyarakat telah menggunakan kawasan tersebut untuk kepentingan kehidupan mereka. Pemerintah atau Pemda tetap akan mengeluarkan HP-3 setelah melakukan musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu bupati/walikota (wajib) memfasilitasi musyawarah dimaksud. "Ketentuan ini rancu karena dalam Pasal 23 ayat (5) mengesankan bahwa Pemerintah atau Pemda yang melakukan musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan, tetapi dalam Pasal 23 ayat (6) disebutkan bahwa Bupati/Walikota-lah yang memfasilitasi musyawarah tersebut," katanya.
Pemohon juga mendalilkan Pasal 60 ayat (1) huruf b bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena kata "kompensasi" dalam konteks UU a quo lebih mempunyai kecenderungan makna dari sebuah upaya pengusiran secara legal. Kata "kompensasi" ini, jelas Jansen, lebih mengarah pada strategi pengusiran masyarakat lokal agar wilayahnya bisa dimanfaatkan untuk HP-3. "Potensi pengusiran masyarakat lokal ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan dalam Undang-Undang a quo tidak dinyatakan bahwa masyarakat berhak menolak penetapan wilayahnya sebagai lokasi HP-3. UU Nomor 27 Tahun 2007 ini hanya menyebutkan bahwa masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan, bukan hak menolak," jelasnya.
Ketua Majelis Hakim Panel M. Arsyad Sanusi mengungkapkan bahwa para permohon tidak menjelaskan secara rinci kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, Arsyad menilai Pemohon tidak konsisten dalam menjelaskan petitumnya. "Dalam petitum, poin satu dan lainnya saling berkait. Jika pada poin sebelumnya tidak dicantumkan, maka di poin berikutnya jangan dicantumkan. Akan tetapi Pemohon malah tidak konsisten. Misalnya, pada poin 2 dicantumkan hanya Pasal 16 Ayat (1), tetapi pada poin 3, Pemohon justru menambahkan menjadi Pasal 16 Ayat (1) dan (2)," jelas Arsyad.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta agar Pemohon juga menyertakan fakta-fakta yang terjadi di lapangan berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon yang terlanggar. Fadlil juga meminta agar para Pemohon memfokuskan isu konstitusionalitasnya pada pasal yang berkaitan dengan HP-3. "Isu sentralnya di HP-3, tapi Pemohon malah melebar dengan mengaitkan pada definisi pada UU a quo. Memang ada aspek konstitusionalitas dalam definisi? Mohon diteliti," saran Fadlil. (Lulu A)