Kemudian Pasal 69 ayat (2) yang menyatakan "Dalam melaksanakan tugasnya, kurator a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; b) dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan harta pailit.
Menurut Pemohon, pasal-pasal a quo berpotensi disalahgunakan oleh kurator sehingga merugikan debitur pailit. Tidak adanya pemberitahuan atau persetujuan kepada debitur dianggap sangat merugikan karena kurator berwenang menjual, menyewakan, melelang, dan menjaminkan harta pailit.
Sidang kali ini mendengarkan keterangan Ahli dari para Pemohon, Kurnia Toha dan Darminto Hartono. Menurut Kurnia, latar belakang lahirnya UU Kepailitan adalah karena UU 4/1958 dinilai banyak kekurangan dan tidak ada kejelasan terhadap definisi utang, serta belum dimasukkannya aspek asuransi. "Utang saat ini diartikan dalam makna yang luas, yaitu segala kewajiban yang bisa dinilai dengan uang," jawab Kurnia Toha.
Sementara Darminto lebih banyak menguraikan pola relasi antara kurator, direksi, hakim pengawas, debitur, dan kreditur dalam konteks UU a quo. "Tujuan UU Kepailitan adalah untuk memaksimalkan aset-aset debitur. Jika kurator berorientasi pada aspek harta kekayaan, maka direksi berorientasi di luar harta kekayaan," jelas Darminto. Ia menambahkan, tugas kurator adalah mengelola kepailitan, namun tetap harus ada keseimbangan hak antara kreditur dan debitur.
Pemerintah sendiri dalam keterangannya menyatakan kerugian konstitusional secara faktual dan potensial tidak terjadi. Menurut pemerintah, UU Kepailitan justru untuk memberikan keseimbangan antar berbagai pihak. (Yazid)