Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan 11 orang masyarakat adat Papua menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Hal tersebut ditetapkan dalam sidang putusan uji Undang-Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD.
"Menyatakan keanggotaan DPRP 2009-2014 sebanyak 56 anggota sah menurut hukum, ditambah 11 anggota yang diangkat berdasarkan peraturan daerah khusus (perdasus)," ujar Mahfud saat membacakan amar putusan, Senin (1/2).
Dengan pengisian 11 kursi keanggotaan DPRP tersebut, lanjut Mahfud, maka Gubernur Provinsi Papua bersama DPRP perlu segera membuat peraturan daerah khusus tentang tata cara pengisian anggota DPRP. "Yang didalamnya memuat ketentutan tentang penambahan 11 anggota DPRP yang diangkat dan beaku satu kali (einmalig) untuk periode 2009-2014," tegasnya seraya menambahkan, untuk periode berikutnya harus dikembalikan pada ketentuan yang sesuai undang-undang, "Yakni melalui pemilu dan diangkat dengan tata cara yang diatur dalam perdasus".
Pemohon dalam perkara tersebut adalah Ramses Ohee dan Yonas Alfons Nusi. Keduanya mempersoalkan Pasal 6 ayat (2) UU Otonomi Khusus bagi Papua yang menyebutkan DPRD terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal tersebut dianggap tidak jelas dan rawan konflik, karena tidak menyebutkan peraturan perundangan yang dipakai secara detil. Hakim konstitusi Akil Mochtar, saat membacakan pendapat mahkamah menjelaskan, berdasar pasal 23 ayat (2) huruf d UU 10/2008 tentang pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD, maka pengisian keanggotaan yang dilakukan oleh KPU melalui pemilu sebanyak 45 kursi, sedangkan 1/4 dari 45 kursi yaitu sebanyak 11 kursi seharusnya dilakukan dengan cara diangkat, seperti diatur pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001.
Namun, kata Akil, dalam pemilu 2004 dan pemilu 2009 pengisian anggota DPRP ternyata dilakukan dengan cara pemilu oleh KPU.
"Pengisian 56 kursi DPRP Provinsi Papua oleh KPU yang seluruhnya melalui pemilihan umum merupakan tindakan yang melampaui kewenangan," tegas Akil Mochtar.
Atas dasar itu, majelis hakim konstitusi memutuskan pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 dinyatakan inkonstitusional, kecuali frasa "berdasarkan peraturan perundang-undangan" dalam pasal a quo diartikan "berdasarkan peraturan daerah khusus".
Putusan tersebut disambut penuh syukur oleh para pemohon. "Saya bersyukur dan terharu atas putusan ini. Dampak politik yang akan terjadi ke depan, Papua akan mengalami damai suka cita, sebgai bagian dari NKRI. Tidak ada lagi pertikaian dan pertengkaran di Papua," ujar Ramses ditemui seusai persidangan.
Di lain pihak, pemerintah yang diwakili Dirjen Ligitasi Hukum dan HAM, Mualimin Abdi mengaku pemerintah menghormati dan menerima putusan MK.
Nurulia Juwita Sari, Media Indonesia.com