Jakarta - Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pertenakan dan Kesehatan Hewan diajukan materinya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Menurut kami semangatnya adalah membuka impor daging sebesar-besarnya dengan mengabaikan keselamatan dan kemanan masyarakat dan hewan di Indonesia," kata Tim Advokasi Masyarakat untuk Keadilan Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia, Hermawanto saat sidang pendahuluan untuk permohonan uji materi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (27/10).
Menurutnya, dalam UU tersebut khususnya pasal 44 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
"Karena ketentuan ini menunjukkan pemerintah tidak bertanggungjawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak rakyat," ungkapnya.
Pemohon juga mendalilkan dalam pasal 59 ayat (2) sepanjang kata "zona dalam suatu negara" dianggap tidak melindungi masyarakat Indonesia perihal kesehatan dan ternak.
Dalam pasal tersebut berbunyi "Produk hewan segar yang dimasukkan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan".
"Karena tidak ada kepastian apakah hewan hidup dan produk hewan segar yang kemudian masuk ke negara Indonesia adalah hewan dan produk hewan dari zona yang tadinya sudah dinyatakan aman," jelasnya.
Padahal, menurutnya negara lain tidak mempunyai kapasitas dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengkontrol peredaran hewan dan peredaran ternak disuatu negara.
"Misalnya di Australia, dinyatakan terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK) tapi Indonesia masih boleh mengambil dari provinsi lain padahal kita tidak bisa mengkontrol peredaran hewan di Australia. Dengan seperti itu, jaminan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat Indonesia menjadi sangat kecil," paparnya.
Sementara itu, dalam UU 18 Tahun 2009 itu pula, sudah mengabaikan kewenangan para dokter hewan.
"Kewenangan dokter hewan yang meneliti, menyatakan bahwa ini sehat tidak sehat layak atau tidak diimpor itu kewenangan diambil alih oleh menteri. Ini kan berbahaya, satu kewenangan profesi diambil alih jadi kewenangan politik, ini akan berbahaya," kata Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Wiwiek Bagja.
Sehingga, sambungnya, akan terjadi bias kepentingan karena salah satu dari pendukung partai politik dan terlihat nyata.
"Dari situlah kami, UU 18 itu filosofinya adalah membuka impor daging sebesar-besarnya dengan mengabaikan keamanan dan keselamatan serta ekonomi para peternak Indonesia," ungkapnya.
Sementara itu, menurut perwailan dari Pedagang Daging Nasional, Asnawi, Ia juga menyatakan, merasa adanya persaingan ketat dalam penjualan daging ekspor dan impor. Dan menurutnya, keselamatan masyarakat untuk mendapatkan daging yang sehat adalah ekonomi para peternak.
"Pedagang daging diseluruh Indonesia jumlahnya 73 ribu pedagang. Baru-baru ini merasa persaingan amat ketat. Pemasok kami dari pedesaan, padahal kita tau peternak di Indonesia itu sebagai sumber kehidupan dan tabungan dari ekonomi kita. Kalau impor kita perbesar maka bersiap-siaplah para peternak itu mengalami kematian secara bertahap," tegasnya.
Dilain pihak, menurut Wakil Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Titah, dan menurutnya, dalam pasal 44 ayat (3) menegaskan negara tidak harus mengganti rugi memberikan kompensasi kalau ada binatang ternak yang dimatikan.
"Jadi seorang menteri pertanian, mematikan hewan-hewan kami tanpa negara tidak harus ganti rugi. Dia lepas tanggung jawab terhadap satu UU. Padahal kita perlu tau, munculnya penyakit di Indonesia tidak bisa dilupakan bahwa ketidakmampuan negara dalam mengendalikan penyakit menular. Lah, kami jadi apa?Bertahun-tahun menabung dan tiba-tiba menteri mengatakan hewan itu terkena penyakit, lalu gimana?dapat apa?. Sehingga saya merasa dirugikan dan minta UU ini dicabut sama sekali. Seolah-olah peternak, nelayan dan petani tidak mampu," katanya.
27 Oktober 2009
Ilma Hairinasari. Primair Online