Menyoal Otoritas Dokter Hewan
Selasa, 26 Januari 2010
| 13:39 WIB
Anggota DPR RI, Adang Daradjatun, memberikan keterangan dalam sidang uji UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Selasa (26/1), di ruang sidang pleno. (Humas MK/Ardli Nuryadi)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, Selasa (26/01/2010) pukul 09.00 WIB. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Pada perkara ini, Pemohon mengajukan empat norma UU a quo untuk diuji, yakni, pertama, Pasal 44 Ayat (3) yang menyatakan "Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". Kedua, Pasal 59 Ayat (2) yang menyatakan "produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan" khususnya sepanjang kata "unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona".
Ketiga, Pasal 59 Ayat (4) yang menyatakan "Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional" khususnya sepanjang kata "atau kaidah internasional", dan keempat, Pasal 68 ayat (4) yang menyatakan "dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner" khususnya sepanjang kata "dapat". Menurut Pemohon, pasal-pasal di atas mengakibatkan tidak adanya tanggung jawab pemerintah atas kerugian akibat ketidakmampuan mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya. Lalu, dalil Pemohon dalam Pasal 59 ayat (2) memandang negara tidak mampu mengendalikan lalu lintas hewan di negara lain karena penerapan sistem zona.
Dalam persidangan, DPR yang diwakili oleh Adang Daradjatun membantah jika pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sistem zona justru melindungi masyarakat dari penyakit hewan. Menurut DPR, pemohon pengujian UU ini juga tidak memenuhi legal standing dan tidak jelas kerugian hukum yang dideritanya. "Alasan pemohon tidak ada relevansinya," ujar mantan Wakapolri ini.
Sebaliknya, Dr. Drh. Sofjan Sudarjat, selaku ahli dari Pemohon, menuturkan dengan tegas jika sistem zona tidak melindungi masyarakat dari epidemi penyakit hewan. Lalu, dr. drh. Mangku Sitepoe juga menyatakan bahwa Indonesia hanya dalam tempo 23 bulan sudah tertular penyakit zoonosis (penyakit hewan yang ditularkan kepada manusia). "Padahal, dunia internasional seperti Hongkong dan Thailand, butuh waktu 118 tahun untuk terdampak penyakit ini. Saya adalah korban penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan," terangnya.
Sitepu juga menandaskan, saat ini di Departemen Pertanian tidak ada Otoritas Veteriner. Padahal, kewenangan kesehatan hewan adalah kewenangan yang dimiliki profesi dokter hewan (veteriner), bukan menteri. "Perlu disadari, saat ini ada ancaman bioterrorism seperti biological weapon, flu babi, HIV/AIDS, flu burung, dan lain-lain," kata Sitepoe. (Yazid)