JAKARTA (Suara Karya): Mohammad Iqbal Bin A Rahman yang lebih dikenal dengan Abu Jibril, ayah tersangka teroris Muhammad Jibril, mencabut "gugatan" atau permohonan uji materiil terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun selanjutnya Abu Jibril berencana mengajukan "gugatan" baru juga atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Akan kami daftarkan lagi nanti gugatan baru setelah dikaji dengan lengkap dan dipelajari pasal mana yang pas untuk digugat," ujarnya kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu. Abu Jibril membantah adanya tekanan dari pihak luar terkait pencabutan permohonan awal pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut. "Nggak ada sama sekali," tegasnya. Penarikan gugatan yang dilakukan sendiri oleh Abu Jibril ternyata tidak sepengetahuan penasihat hukumnya. Para penggugatnya sendiri, selain dirinya juga Umar Abduh, John Helmi Mempi, dan Hartsa Mashirul HR. Menurut Abu Jibril, pencabutan gugatan dilakukannya karena sebelumnya dia telah mencabut surat kuasa terhadap Ahmad Suryono dan Isnandar S Nasution terkait uji materiil UU Terorisme di MK itu. Alasannya, kedua advokat tersebut dinilai masih junior. "Masih junior, kami butuh pengacara yang tahu lebih dalam soal UU yang digugat tersebut," katanya. Ia menyebutkan, untuk gugatan baru terhadap pasal baru pula diperlukan pengkajian dan kematangan serta pengalaman dari kuasa hukum yang mewakili mereka. "Untuk melengkapi pasal-pasal yang dinilai kurang pas itu perlu ada pergantian penasihat hukum," katanya menambahkan. Kepala Kepaniteraan MK, Zaenal Arifin Husein, mengakui menerima fax mengenai pencabutan tersebut. Akibatnya, persidangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengagendakan perbaikan permohonan secara otomatis batal. "Pemohon tidak memberikan alasan pencabutan," kata Zaenal. Proses selanjutnya tinggal penetapan majelis hakim yang dibacakan dalam pleno. Pemohon sebelumnya menggugat Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 46 Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) "digugat" ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Anggara, advokat dan Direktur Program Institute Criminal Justice Reform (ICJR) serta Wahyudi Djafar, peneliti Perkumpulan Center for Democracy and Human Rights Studies (Demos), Selasa. Mereka menilai UU ITE, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur penyadapan dalam UU ITE itu, bertentangan dengan UUD 1945. Khususnya Pasal 31 ayat 4 UU ITE yang mendelegasikan pengaturan penyadapan menggunakan PP. "Pasal 31 itu menabrak Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Itu berarti, pengaturan penyadapan menggunakan PP juga menabrak konstitusi dan HAM," katanya. (Wilmar P)
Kamis, 21 Januari 2010Suara Karya