Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara Nomor 120/PUU-VII/2009 dengan Pemohon Calon Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Machmud, Selasa (19/01), di ruang sidang pleno. Sidang yang dipimpin Mahfud MD tersebut memperdengarkan keterangan ahli dari masing-masing pihak dan pihak terkait.
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 58 huruf f dan Pasal 58 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Pasal-pasal a quo mengatur mengenai pembatasan syarat pencalonan kepala daerah. Dipersyaratkan dalam ketentuan tersebut bahwa seorang calon tidak diperkenankan seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan ketentuan Pasal 58 huruf h terkait dengan syarat seorang calon kepala daerah haruslah figur yang mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
Pemohon berpendapat bahwa Pasal 58 huruf f tersebut bertentangan dengan hak-hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Pemohon merupakan mantan narapidana yang pernah terkena sanksi hukuman penjara lima tahun atau lebih.
Ahli dari Pemohon, Mudzakir, dalam keterangannya menyatakan bahwa ketentuan yang diujikan sudah pernah diputus dalam persidangan di MK. Ahli berpendapat, terkait dengan Pasal 58 huruf h, bahwa ketentuan tersebut tidak relevan karena yang menentukan seseorang tersebut dikenal adalah rakyat pemilih.
Sementara Ahli Hukum Pidana, Eddy O.S. Hiariej, menyatakan ketentuan pembatasan pencalonan terhadap para mantan narapidan telah melanggar teori-teori pemidanaan. "Pembatasan pencalonan bagi orang yang telah melaksanakan hukuman pidana telah melanggar teori pemidanaan modern maupun klasik," kata Eddy menegaskan. Menurut Eddy sangat tidak tepat jika orang yang telah diberi sanksi karena tindakan pidananya kemudian diberi sanksi lagi berupa pembatasan sebagaiman ditentukan oleh Pasal a quo.
Sedangkan Ahli Taufiqurrahman Syahuri menyatakan bahwa MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang putusan-putusannya telah memliki semangat progresif dan responsive, misalnya terhadap putusan yang berkaitan dengan pemberlakuan KTP dan Paspor. MK juga mengedepankan semangat pencarian keadilan substantif. Putusan MK juga menurut ahli bersifat sebagai ketentuan yang berlaku mengikat sebagaimana regeling (peraturan) dan beschikking (kebijakan).
Terkait dengan permohonan Pemohon, Taufiqurrahman Syahuri menyatakan bahwa Pemohon dalam pencalonannya pernah dibatalkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebelum terjadinya putusan MK terkait Pasal 58 huruf f UU Pemda. "Dikarenakan sifat putusan MK itu mengikat, maka terhadap Pemohon semestinya diberlakukan ketentuan MK," kata Taufiqurrahman Syahuri.
Berbeda dengan keterangan Ahli Pemohon, Ahli dari Pihak Terkait, Mustafa Fakhri, menyatakan hal yang berbeda. Mustafa berkeyakinan bahwa setiap personal warga negara memiliki kewenangan yang sama, namun dalam kerangka konstitusional di beberapa negara pembatasan hak itu ada. "Di negara-negara eropa, Belgia, Polandia, Hongaria, dan sebagainya juga dianut pembatasan hak untuk warga negara yang pernah dipidana, bahkan juga diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat," kata Mustafa menjelaskan pendapatnya.
Ketua Majelis Hakim Mahfud MD mempertanyakan bahwa akan sulit untuk mengabulkan permohonan Pemohon yang meminta pencatuman eksplisit nama Pemohon dalam putusan MK. "Sulit rasanya seperti itu, apa landasan teorinya itu?" tanya Mahfud kepada para Ahli Pemohon. Mahfud juga mempertanyakan bahwa terjadi pencampuradukan teori antara hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Menurut Eddy O.S. Hiariej bahwa terdapat asas lex favoreo yang menentukan jika terjadi "benturan" peraturan perundang-undangan maka diberlakukan perundang-undangan yang menguntungkan bagi terdakwa. Dalam hal permohonan Pemohon yang merugikan terkait dengan putusan MK sebelumnya maka hanya bisa diselesaikan pula dengan putusan MK berikutnya sebagaimana asas lex favoreo.
Terkait dengan benturan hukum pidana dan hukum administrasi negara, Ahli Eddy O.S. Hiariej menjelaskan bahwa dalam teori hukum memang terdapat asas-asas antar ranah hukum yang berbeda. Namun karakter hukum tersebut adalah sebagai hukum publik. "Dalam teori hukum terdapat paham antinomi hukum, di mana terdapat asas-asas yang saling berbenturan, namun tidak bisa dinegasikan, agar membuat hukum itu dinamis," kata Eddy menjelaskan.
Setelah mendengarkan keterangan-keterangan ahli tersebut, kemudian Majelis Hakim meminta pihak-pihak membuat kesimpulan. Setelah kesimpulan tersebut, hakim baru akan menentukan jadwal persidangan berikutnya. (Feri Amsari)