UNDANG-Undang (UU) No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah sebelumnya lembaga pengawal konstitusi tersebut membatalkan uji materi (judicial review) UU tersebut.
Kali ini, uji materi yang diajukan tiga pemohon yakni Anggara, Supriyadi Widodo dan Wahyudi Djafar itu memperkarakan Pasal 31 ayat (4) UU ITE.
Pasal tersebut mengamanatkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) aparat penegak hukum, instansi pemerintah, praktisi hukum dan teknologi informasi, operator penyelenggara telekomunikasi maupun komunitas teknologi informatika. Ketentuan tersebut dinilai dapat mengganggu atau mempunyai potensi kuat melanggar hak konstitusional para pemohon.
Anggara dan Supriyadi yang bertugas sebagai advokat berpendapat, berkomunikasi dengan klien tidak boleh dilakukan penyadapan. Hubungan komunikasi yang dilakukan advokat dengan kliennya harus bebas dan mandiri untuk dapat memastikan berlakunya hukum semesti. Sementara Pasal 31 ayat (4) dapat meruksa hak dan kewenangan pemohon sebagai advokat yang bebas dan mandiri.
Sementara Wahyudi yang berprofesi sebagai peneliti Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia) juga menilai pasal a quo dapat melabrak dirinya menggunakan beragam sarana komunikasi untuk dapat menjalankan aktivitasnya seara bebas dan mandiri untuk menghasilkan karya riset yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 31 ayat (4) dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Pada intinya Pasal 31 UU a quo memuat dua ketentuan mengenai penyadapan. Pertama menyatakan penyadapan sebagai sebuah perbuatan illegal yang dilarang dan bagi siapa pun yang melakukannya akan diganjar hukuman pidana.
Kedua, pasal tersebut mengatur mengenai penyadapan bersifat legal jika untuk penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan institusi penegak hukum yang ditetapkan berdasarkan UU.
RPP Penyadapan juga menuai penolakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena memperlemah dalam upaya membongkar skandal suap. Padahal, KPK paling dominan menangani kasus suap. RPP Penyadapan membuka peluang kebocoran materi penyelidikan yang ditangani oleh KPK. Pengaturan izin dari pengadilan maupun Pusat Intersepsi Nasional (PIN) juga dikhawatirkan memicu terjadinya praktek korupsi.
Namun, pemerintah tetap akan mempercepat pengesahan RPP tersebut. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tiffatul Sembiring belum lama ini menyatakan RPP tata cara penyadapan tengah dipelajari tujuh instiusi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara (BIN), Departemen Komunikas dan Informatika, Departemen Pertahanan dan Departemen Hukum dan HAM. Dia menargetkan April atau Mei 2009, PP sudah disahkan.n
Jakarta, 20 Jan 2010
M. Yamin Panca Setia
Jurnal Nasional