Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Senin (11/1), di Gedung MK.
Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 146/PUU-VII/2009 diajukan oleh 14 Pemohon, yakni Marthen Maure, Simson Fransisko Beli, Kislon Obisuru, Marjuki Usman, Seniriadin N. Badu, Soleman B. Gorangmau, Yusak Simon Atamau, Aris Wahyudi, Yonathan Mokay, Henderikis Soleman Laumakang, Mulyawan Jawa, Simeon Gilaa, dan Permenas Lamma Kolly.
Dalam sidang yang mengagendakan perbaikan permohonan ini, Pemohon menguatkan argumentasi dalam provisinya. Pemohon melihat ada keadaan mendesak berupa upaya melakukan bypass oleh sejumlah anggota DPRD Kabupaten Alor dalam menetapkan alat kelengkapan DPRD. "Sebagian anggota yang tidak setuju pengajuan permohonan ini melakukan bypass untuk menyegerakan terbentuknya alat kelengkapan DPRD sebelum keluarnya putusan MK atas perkara ini," jelas Marthen Maure yang juga merangkap sebagai Kuasa Hukum para Pemohon.
Ketua Majelis Panel M. Akil Mochtar menyatakan permohonan para Pemohon menjadi kabur karena adanya uji formal selain uji materiil terhadap UU a quo. Selain itu, Akil juga menegaskan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji antara satu pasal dengan pasal lain dalam satu undang-undang. "MK mempunyai kewenangan untuk menguji pasal dalam suatu undang-undang terhadap UUD 1945, bukan antarpasal dalam satu undang-undang," jelasnya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga mengingatkan para Pemohon bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk menambahkan frasa dan atau mengubah bunyi pasal seperti yang tercantum dalam petitum Pemohon. "Para Pemohon harus ingat bahwa MK tidak mempunyai fungsi legislator," ujarnya.
Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2), (3), (4), (5), (6) (7), (8) dan (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD jelas-jelas memberikan keistimewaan kepada sebagian anggota DPRD yang berasal partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak karena dengan adanya frasa "yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Kabupaten/Kota", yang oleh para Pemohon juga dianggap membedakan kedudukan sesama anggota DPRD dan menghilangkan serta mengkebiri hak anggota DPRD, khususnya hak memilih dan dipilih dalam jabatan Pimpinan DPRD. (Lulu A.)