PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Hamdan Zoelva dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai hakim konstitusi. Keduanya menggantikan Abdul Mukhtie Fadjar dan Maruarar Siahaan yang telah memasuki masa pensiun. Pengangkatan sebagai hakim konstitusi mengacu Keputusan Presiden (Keppres) No 1/P/2010 tanggal 5 Januari 2010. Hamdan diajukan pemerintah dan akan menggantikan posisi Mukhtie. Sementara Fadlil diajukan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk menggantikan Maruarar.
Setelah mengucapkan sumpah jabatan dihadapan kepala negara di Istana Negara, Jakarta kemarin (7/1), Hamdan berjanji akan menjadi hakim konstitusi yang independen. Dia telah mengundurkan diri sebagai fungsionaris Partai Bulan Bintang (PBB) setelah menerima Keppres pengangkatan dirinya sebagai hakim konstitusi.
"Saya kira tidak perlu kita pisahkan antara latar belakang partai politik atau bukan partai politik. Yang paling penting adalah hakim konstitusi berpandangan jauh ke depan, berpandangan obyektif, imparsial, merdeka, tidak terpengaruh oleh pandangan parpol tertentu, atau oleh kelompok tertentu di mana dia menjadi afiliasinya," kata Hamdan di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Hamdan merupakan seorang politisi PBB. Dia pernah menjadi anggota DPR periode 1999 - 2004 dan menjabat sebagai wakil ketua komisi II DPR.
"Sebagai lawyer, saya sudah menyatakan nonaktif selama menjadi hakim konstitusi. Selama menjadi hakim konstitusi, tidak akan ada perkara-perkara yang terkait dengan nama kantor saya untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya. Sebagai pengacara, Hamdan memimpin kantor advokat Zoelva & Januardi.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Siddin merespons positif pengangkatan Hamdan dan Fadlil. Irman mengenal Hamdan sebagai salah satu penggagas perubahan (amandemen) UUD 1945.
Meski demikian, Irman mengingatkan Hamdan tidak terjebak dalam romantisme masa lalu saat membuat UUD. "Itu yang bahaya, kalau pembuat UUD masih terjebak pada romantisme masa lalu. Padahal, bisa jadi dia harus meninggalkan masa lalu itu," katanya.
Irman juga tidak khawatir dengan latar belakang Hamdan sebagai politisi. Dia menilai latar belakang tersebut tidak akan menganggu independensi MK dalam mengawal konstitusi. "Latar belakang politisi, saya kira tidak signifikan. Sejak MK berdiri, sudah ada orang-orang politik di MK."
Dia mencontohkan beberapa hakim konstitusi yang memiliki latar belakang politik antara lain: Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK) yang didukung Partai Golkar, Harjono dan I Dewa Gede Palguna (mantan hakim konstitusi) yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ketua MK Moh Mahfud MD juga memiliki latar belakang politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu juga Akil Mochtar yang dikenal pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar.
"Saya rasa mayoritas hakim konstitusi adalah orang politik. Namun, diinternal MK bisa dikontrol. Mereka juga sadar karena politik juga mengalami differensiasi. Tidak ada lagi monoloyalitas sekarang. Saya tidak perlu khawatir," ujar Irman.
Sementara terkait dengan sosok Fadlil, Irman mengatakan, Fadlil pernah menjadi panitera di MK. "Dia pernah menjadi panitera MK," ujar Irman. Selama menjadi hakim tinggi PTA Jakarta, Fadlil pernah diperbantukan menjadi panitera MK (2003-2008).
Dia juga dikenal sebagai akademisi yang memahami hukum perdata agama dan hukum tata negara. Fadlil mengajar di IAIN Wali Songo Semarang, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakata, dan Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta. Saat ini, Fadlil juga sedang menempuh S3 Hukum Tata Negara di Univeritas Dipanegoro (Undip).
Rizky Andriati Pohan/M. Yamin Panca Setia
Jakarta, 08 Jan 2010
Jurnal Nasional