KELUARNYA aturan pemakzulan atau
impeachment terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Desember 2009 lalu bertujuan untuk menghindari adanya politisasi.
Berdasarkan Peraturan MK Nomor 21/2009 tentang pedoman beracara impeacment, DPR bisa mengajukan Presiden, Wakil Presiden secara terpisah atau dalam satu paket untuk di-impeach.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD usai mendapatkan Anugerah UII Award di Yogyakarta, Rabu (6/1) menjelaskan, peraturan tersebut mengatur dua hal pokok, yaitu persidangan impeachment melalui MK adalah peradilan khusus dan hanya DPR yang boleh mengajukan tuntutan.
"Presiden bisa dijatuhkan atau tidak itu bisa diajukan melalui persidangan di MK. Hasil keputusan MK sifatnya konfirmasi kepada DPR atas dakwaan yang diajukan. Keputusan itu nanti yang bisa jadi landasan politik di DPR untuk memproses impeachment lebih lanjut," kata Mahfud.
Sementara ketika ditanyakan latar belakang keluarnya peraturan tersebut apakah terkait kondisi politik di Tanah Air, Mahfud menyatakan sebenarnya rancangan peraturan tentang pemakzulan sudah cukup lama dibahas sejak masa kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, tapi tertunda. Hakim konstitusi sebelumnya masih berbeda pendapat soal siapa yang boleh mengajukan tuntutan impeachment.
Penerbitan PMK 21/2009 ditegaskan tidak terkait kondisi aktual sekarang dan justru menghindari politisasi. Jika dibuat berbarengan atau setelah DPR membuat keputusan soal impeachment, Mahkamah Konstitusi bisa dituduh menjatuhkan atau justru menyelamatkan presiden atau wakil presiden. Mahfud juga menegaskan keputusan MK bukan putusan pidana.
"Soal dugaan pelanggaran pidana, diadili secara terpisah di pengadilan umum. Jadi antara hukum pidana, perdata dan tata negaranya berjalan sendiri-sendiri. Itu dicantumkan dalam pasal 20," kata Mahfud.
Manuver Impeach SBY
Sejumlah organisasi yang menamakan diri Front Penegak Konstitusi menentang intrik dan manuver politik dari sekelompok elite yang berpotensi melanggar konstitusi. Manuver tersebut memanfaatkan momentum strategis untuk menebar propaganda bahkan mereka berusaha menggoyang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Ketua Umum Persatuan Nasional Demokrat, Edwin Henawan Soekawati, menenggarai adanya pola yang sama ketika Presiden Abdurrahman Wahid di-impeach sampai dilengserkan tahun 2001. Hal ini ditengarai ingin diulangi dengan memanfaatkan isu-isu politik di seputar kasus Bank Century.
"Belum apa-apa, sudah ada yang berteriak mau meng-impeach presiden. Pola yang dilakukan ketika menurunkan Gus Dur, kelihatannya ingin diulangi oleh penghianat-penghianat demokrasi," katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (6/1).
Menurut Edwin, semua pihak hendaknya secara jernih dan proporsional mencermati kasus pengucuran dana Rp 6,7 triliun ke Bank Century. Masyarakat dan elite politik diminta bersabar menunggu penyelidikan yang sedang dilakukan Panitia Angket DPR maupun proses hukum yang sudah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
"Silakan saja berdebat, tetapi belum apa-apa, sudah berteriak SBY terlibat, ini mengada-ngada,"imbuhnya.
Edwin menambahkan, usaha-usaha yang mencoba mendelegitimasi hasil Pemilu 2009 sangat memprihatinkan. Tanpa menyebut siapa aktornya, tetapi menurut dia, mereka ini tidak segan-segan menyebar fitnah, berita bohong, membesar-besarkan masalah dan disinformasi kepada masyarakat.
"Tujuannya jelas, ingin menimbulkan krisis konstitusi dan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi," tandasnya.
Ketua Kesatuan Keluarga Besar Angkatan 66 Eceng Yusuf Toaziri juga menilai ada upaya untuk mengarahkan persoalan Bank Century untuk menjatuhkan pemerintah yang sah dan konstitusional.
"Kita tampil untuk membela dan menegakkan konstitusi," tegasnya. n Rhama Deny
Thu 07 Jan 2010
Jurnal Nasional