Dalam sidang mendengarkan saksi atau ahli, Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi mengungkapkan bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas, "melainkan implementasi otonomi daerah yang secara lebih tegas mengenai persoalan implementasi penegasan batas, administrasi pemerintahan, dan pelayanan pemerintahan," jelasnya.
Menurut Mualimin, implikasi Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 40/2003 belum selesai. Peta batas wilayah masih dalam tahap penyelesaian dan harus mendapat tindak lanjut dari Menteri Dalam Negeri. "Peta yang terdapat dalam undang-undang masih berupa sketsa, belum jelas batas koordinatnya," ujarnya.
Mualimin berpendapat jika seandainya Pemohon mengalami kerugian konstitusional, maka hal itu terjadi bukan karena Undang-undang a quo, melainkan karena belum selesainya penegasan batas. "Penyelesaian berbentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa msaing-masing kepala daerah mengatasi penyelesaian tersebut dengan difasilitasi oleh Gubernur. Penyelesaian tersebut sudah diselesaikan oleh Gubernur Maluku pada 1 September 2009," katanya.
Menanggapi tentang jangka waktu enam tahun yang dibutuhkan untuk menyelesaikan, Mualimin menjelaskan bahwa hal itu disebabkan belum adanya kesepakatan batas antara para kepala daerah yang tidak kunjung selesai. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh penentuan koordinat sebagai batas.
"Ada enam langkah yang harus dipenuhi untuk menentukan koordinat, yakni pelacakan dokumen, melacak batas, memasang pilar, mengukur dan menentukan posisi pilar, menentukan pilar, dan membuat peta. Hal ini menjadi masalah yang belum terselesaikan karena masing-masing masih bingung menentukan batas daerah," jelasnya.
Sementara itu Ahli Pemohon, Taufiqqurahman Sahuri, mengungkapkan bahwa penjelasan dan lampiran dalam undang-undang merupakan objek pengujian yang dapat diuji oleh MK. Sahuri memberikan contoh kekuatan lampiran dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang gaji Pegawai Negeri Sipil. "Ada 11 kali perubahan yang terjadi pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tersebut. Jika perubahan tersebut tidak berlaku, maka tidak ada aturan yang mengatur mengenai gaji Pegawai Negeri Sipil," tukasnya.
Konstitusionalitas norma juga dapat terjadi jika ada dua undang-undang yang mengatur satu hal yang sama hingga menyebabkan keragu-raguan dan ketidakpastian hukum. "Seperti yang tercantum dalam putusan MK Nomor 67/PUU-II/2004 yang menyatakan jika terjadi hal tersebut, maka berpotensi terjadinya pelanggaran hak konstitusionalitas," jelasnya.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, John Lokolo, berpendapat bahwa UU Nomor 40 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang buruk secara yuridis, filosofis, maupun sosiologis. "Apalagi karena penerapannya dilakukan masing-masing oleh daerah terkait yang menimbulkan beberapa fenomena, yakni overlapping wilayah dan wewenang, kebingungan masyarakat adat," jelasnya.
John juga berpendapat bahwa UU Nomor 40/2003 telah salah menegasikan Pasal 25A UUD 1945. "Tidak ada batas pada Laut Banda. Hal ini menjadi fatal. Maka telah terjadi kesalahan pada Pasal 7 ayat (4) beserta lampirannya," tukas John.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (4) serta Penjelasan Pasal 7 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 25A dan Pasal 28D ayat (1). Menurut Pemohon, dalam kenyataannya dengan berlakunya UU a quo menimbulkan ketidakpastian hukum terutama menyangkut masalah kewilayahan, kependudukan, anggaran, dan administrasi. (Lulu A)